Bima, 30 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Selama dua dekade, sejak dibentuknya pada tahun 2006 sebagai kecamatan pemekaran terakhir di Kabupaten Bima, Kecamatan Lambitu seolah berada dalam “ruang tunggu” pelayanan keamanan. Hingga tahun 2025 ini, mereka masih tak memiliki Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) sendiri, padahal wilayah ini berada di bawah yurisdiksi Polres Bima Kota. Pertanyaan pedas pun mencuat dari masyarakat dan aktivis: “Selama 20 tahun Polres Bima Kota kemana? Apakah Lambitu, selain dianggap anak haram dalam pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah Kabupaten Bima, juga dianggap sebagai anak terakhir oleh Polres Bima Kota dalam pelayanan keamanan?”
Narasi “anak terakhir” ini bukanlah tanpa dasar. Sebagai kecamatan hasil pemekaran paling bungsu, Lambitu seringkali merasakan ketertinggalan dalam berbagai aspek pembangunan, termasuk infrastruktur dasar. Namun, ketika bicara tentang keamanan, yang merupakan hak fundamental setiap warga negara, penantian 20 tahun tanpa Mapolsek terasa seperti bentuk pengabaian yang kian menyakitkan.
Kesenjangan Pelayanan dan Risiko Keamanan yang Menganga
Ketiadaan Mapolsek di Lambitu bukan sekadar urusan administratif; ini adalah masalah nyata yang berdampak langsung pada keselamatan dan keadilan masyarakat. Jarak yang jauh untuk mengakses layanan kepolisian, mulai dari pelaporan tindak kriminal, pengurusan dokumen penting, hingga penanganan insiden darurat, menciptakan hambatan serius. Masyarakat menjadi rentan terhadap potensi kejahatan, dan respons cepat aparat menjadi sulit terwujud.
Bung Ipul, Koordinator Aliansi Pemuda Peduli Lambitu (APPL), menyoroti ironi ini. “Kami memahami bahwa Lambitu adalah kecamatan pemekaran terakhir. Tapi, apakah status ‘terakhir’ ini harus berarti ‘terakhir pula dalam mendapatkan hak dasar keamanan’? Dua puluh tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk menunggu sebuah Mapolsek yang fundamental bagi keberadaan masyarakat,” tegasnya.
Gugatan Terhadap Prioritas dan Kehadiran Negara
Pertanyaan besar yang terus menggantung adalah tentang prioritas Polres Bima Kota selama dua dekade ini. Mengapa wilayah seujung Lambitu, yang jelas-jelas membutuhkan kehadiran langsung aparat kepolisian, belum juga mendapatkan perhatian yang semestinya? Apakah ada pertimbangan khusus yang membuat pembangunan Mapolsek di sana selalu tertunda?
Bung Imam Muhajir, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI), menekankan bahwa kondisi ini mencerminkan sebuah ketidakadilan struktural. “Setiap kecamatan berhak memiliki Mapolsek sebagai representasi kehadiran negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Ketika Lambitu yang notabene adalah bagian dari wilayah hukum Polres Bima Kota dibiarkan tanpa fasilitas vital ini selama 20 tahun, ini memunculkan keraguan besar terhadap komitmen Polres dalam memberikan pelayanan yang merata,” jelasnya.
Momentum konsolidasi masyarakat Lambitu yang melibatkan berbagai elemen, dari kepala desa hingga aktivis hukum, adalah panggilan keras bagi Polres Bima Kota. Ini bukan lagi sekadar permintaan, melainkan gugatan moral dan hakiki yang tak bisa diabaikan.
Masyarakat Lambitu kini menanti, apakah status mereka sebagai “anak terakhir” akan terus menjadi alasan penundaan, ataukah Polres Bima Kota akan segera menunjukkan komitmennya untuk menghadirkan keadilan dan rasa aman yang telah 20 tahun mereka dambakan. Bola panas kini ada di tangan aparat, dan mata publik akan terus mengawasi.




















