banner 728x250

58 Miliar APBD di Geser: Catur Buta Bupati Bima, Langkah Brutal yang Menggadaikan Marwah Daerah

BIMA, 16 Agustus 2025 || Kawah NTB – Di atas papan catur pemerintahan Kabupaten Bima, sebuah langkah nekat baru saja dipertontonkan. Bupati Ady Mahyudi, dengan penuh percaya diri, menggerakkan pion anggarannya sebesar Rp 58 Miliar, menggesernya secara sepihak dan melompati benteng pertahanan legislatif. Ini bukanlah sebuah manuver jenius, melainkan sebuah permainan catur buta sebuah blunder fatal yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menggadaikan marwah demokrasi dan menelanjangi pemahaman yang dangkal tentang tata kelola pemerintahan.

Tim Redaksi Kawah NTB memandang pergeseran sepihak APBD 2025 ini bukan lagi sekadar berita, melainkan sebuah gejala penyakit kronis arogansi kekuasaan yang harus dibedah hingga ke akarnya.

Papan Catur Demokrasi yang Diinjak-injak

Bupati Ady Mahyudi tampaknya sedang bermain catur di atas papan yang berbeda, atau mungkin beliau berasumsi aturan mainnya bisa ditulis ulang di tengah permainan. Padahal, aturan main dalam pengelolaan keuangan daerah sudah sangat jelas dan tertulis dengan tinta tebal dalam serangkaian peraturan perundang-undangan.

Dasar hukumnya kokoh: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara eksplisit memberikan tiga fungsi kepada DPRD, salah satunya adalah fungsi anggaran (budgeting). Hak ini menegaskan bahwa “ketok palu terakhir” ada di tangan dewan. APBD Bima 2025 sendiri telah disahkan melalui Perda No. 8 Tahun 2024, menjadikannya produk hukum bersama yang mengikat eksekutif dan legislatif. Mengubahnya sepihak sama saja merobek perjanjian kemitraan yang sakral tersebut. Bupati seolah lupa bahwa Peraturan Pemerintah (PP) dan Permendagri tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah wasit yang tidak bisa disuap atau diabaikan.

Taktik ‘Kuda Lumping’: Melompati Logika dan Hukum

Kami melihat taktik yang digunakan adalah “Taktik Kuda Lumping” sebuah gerakan lincah yang melompati pagar logika dan hukum. Dengan dalih program populis “SELASA MENYAPA”, dana infrastruktur jalan yang vital bagi rakyat disunat, lalu muncullah “item siluman” berupa pembelian dua unit ekskavator yang tidak pernah terlintas dalam pembahasan Badan Anggaran.

Ini adalah sebuah sulap anggaran yang memukau, di mana dana jalan bisa berubah wujud menjadi alat berat tanpa melalui mantra persetujuan dewan. Kebijakan ini bukan hanya busuk, tapi juga berbahaya. Ini membuka kotak pandora untuk praktik-praktik serupa di masa depan, di mana APBD bisa diotak-atik pasca-pengesahan untuk melayani kepentingan tersembunyi, bukan kebutuhan publik yang paling mendesak. Apakah program seremonial lebih penting daripada aspal jalan yang dinantikan warga? Hanya Bupati dan timnya yang punya jawaban ajaib untuk pertanyaan ini.

Konsekuensi Blunder Fatal: Dari Sanksi Hingga Undangan untuk KPK

Seorang grandmaster catur selalu berpikir beberapa langkah ke depan. Namun, langkah ceroboh Bupati ini justru tidak memikirkan konsekuensi di depannya. Ini ibarat seorang pemain catur amatir yang dengan bangga mengorbankan Rajanya sendiri, mengira itu adalah langkah brilian untuk memenangkan permainan.

Konsekuensinya sudah jelas diatur:

Sanksi Administratif: Kepala daerah yang terlambat mengesahkan Perda APBD saja bisa dihukum tidak menerima hak keuangan selama enam bulan. Apalagi yang secara sadar melanggar Perda yang sudah disahkan? Sanksi ini adalah keniscayaan hukum.

Pintu Masuk KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas telah mengingatkan bahwa pergeseran anggaran sepihak tanpa dasar hukum adalah salah satu celah korupsi yang paling sering dimanfaatkan. Dengan melakukan manuver yang begitu transparan dan ilegal ini, Pemkab Bima seolah sedang mengirimkan surat undangan resmi kepada aparat penegak hukum untuk datang dan melakukan penyelidikan.

Langkah skakmat yang coba dimainkan Bupati ini, pada akhirnya, bisa berbalik menjadi skakmat bagi dirinya sendiri. Lawan tandingnya kali ini bukanlah lawan politik, melainkan supremasi hukum yang tidak kenal kompromi. Publik kini menunggu, apakah DPRD Bima akan menggunakan hak pengawasannya untuk membatalkan langkah ilegal ini, dan apakah Kemendagri akan bertindak sebagai wasit yang tegas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *