banner 728x250

Jalan Rusak Lambitu: Kami Diperlakukan Seperti Anak Haram Pembangunan

Bima, 22 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Di tengah desakan warga atas jalan yang rusak parah selama 20 tahun, suara pemuda dari Lambitu semakin lantang. Kali ini datang dari Bung Sade, seorang anak muda yang menyuarakan kegelisahan kolektif wilayahnya dengan bahasa tajam, penuh luka, namun dibalut dengan logika yang tidak bisa dibantah.

“Kami bukan angka di spreadsheet anggaran. Kami manusia. Tapi kalau melihat cara pemerintah memperlakukan kami selama dua dekade, seolah nilai kami ditentukan oleh jumlah penduduk. Inilah wajah diskriminasi politik yang paling halus sekaligus paling kejam,” ujar Bung Sade.

Menurut Sade, Lambitu yang berpenduduk sekitar 4.000 jiwa kerap dikesampingkan karena tidak punya “nilai politik” sebesar desa-desa lain, seperti Ngali di Kecamatan Belo yang jumlah penduduknya hampir 6.000.

“Seolah-olah karena kami lebih sedikit, maka kami pantas ditinggalkan. Padahal dalam konstitusi, kami punya hak yang sama. Tapi dalam praktiknya, kami dianggap cuma beban yang bisa ditunda.”

Ini bukan sekadar soal demografi, tapi soal pola pikir pemerintah yang masih terjebak dalam logika transaksional: siapa besar, dia dapat. Siapa kecil, dia tunggu.”

“Kalau pembangunan hanya menghitung angka, maka republik ini bukan negara hukum, tapi pasar suara.”

Bung Sade menggugat cara pandang pemerintah yang secara tidak langsung menyamakan ukuran penduduk dengan ukuran urgensi kebijakan.

“Kami tahu kami hanya empat ribu jiwa. Tapi kami juga tahu bahwa ukuran penderitaan tidak ditentukan oleh jumlah. Apakah anak kami yang terjatuh di jalan rusak harus dihitung setengah nilai karena kami penduduknya lebih sedikit?”

“Apakah nyawa ibu hamil di Lambitu menunggu giliran setelah semua proyek besar selesai di tempat yang lebih ‘menguntungkan’? Inilah logika pembangunan yang busuk. Dan pemerintah Kabupaten Bima wajib mengubahnya.”

Sade juga menegaskan bahwa Bupati Ady Mahyudi, meski baru menjabat lima bulan, sudah punya kewajiban penuh untuk menjawab keluhan Lambitu. Jika pemerintah masih berdalih “masa transisi”, maka berarti pemerintah lebih sibuk menyesuaikan jabatan daripada menyembuhkan luka rakyat.

“Setiap pemimpin adalah penanggung jawab masa sekarang. Kalau hanya tahu menyalahkan masa lalu dan menganalisa kekurangan, maka kami tahu: kepemimpinan itu tidak lahir dari keberanian, tapi dari penghindaran.”

“Kalau suara kami kecil karena jumlah kami sedikit, maka izinkan kami berteriak lebih keras. Karena ketidakadilan itu terasa nyata di setiap lubang jalan, di setiap warga yang terpaksa bayar sewa mobil karena ambulans tidak bisa masuk. Di setiap anak sekolah yang pulang dengan luka.”

“Jangan ajari kami cara menghitung penduduk. Ajari pemerintah cara menghitung rasa hormat.”

Bung Sade menutup pernyataannya dengan satu kalimat yang menjadi manifesto politik pemuda Lambitu:

“Kami tidak mau jadi statistik. Kami mau jadi warga negara. Dan negara yang baik tidak bertanya berapa jumlah kami. Ia bertanya: apa yang bisa kami jalani dengan bermartabat.”

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *