Bima, 3 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Setelah publik disuguhi drama pecahnya meja di ruang paripurna yang terhormat, kini tersaji babak baru yang tak kalah absurd: sebuah opera pembelaan diri yang mencoba memutarbalikkan logika hukum dan akal sehat. Tanggapan yang dilontarkan oleh terduga pelaku, Anggota DPRD Kabupaten Bima, Nurdin (ND), melalui media lain, alih-alih mencerahkan, justru semakin menegaskan adanya kekaburan antara fungsi legislasi dan arogansi pribadi.
Pembelaan yang dibangun di atas narasi “sabotase” dan dalih “tindakan refleksional” adalah sebuah manuver klasik yang patut dikuliti secara hukum dan logika. Mari kita bedah satu per satu argumen yang disajikan, yang ironisnya, lebih rapuh dari meja kaca yang telah menjadi korban.
Kesesatan Logika Pertama: Menjadikan Badan Kehormatan (BK) sebagai Tameng Pidana
Argumen sentral dari pembelaan tersebut adalah bahwa penyelesaian masalah seharusnya melalui mekanisme internal, yakni Badan Kehormatan (BK), bukan kepolisian. Ini adalah upaya berbahaya untuk menciptakan ilusi bahwa Gedung DPRD adalah sebuah “negara dalam negara” yang memiliki imunitas absolut dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku untuk setiap jengkal tanah di Republik Indonesia.
Secara fundamental, pembelaan ini mencampuradukkan dua ranah yang berbeda secara diametral: Pelanggaran Etik dan Tindak Pidana.
- Badan Kehormatan adalah lembaga yang bertugas menegakkan Kode Etik dan Tata Tertib (Tatib) dewan. Wewenangnya adalah seputar marwah, martabat, dan disiplin anggota dalam menjalankan fungsi legislatifnya. Sanksinya bersifat administratif dan moral.
 - Kepolisian Republik Indonesia adalah lembaga penegak hukum yang menangani Tindak Pidana, yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang pidana. Perusakan barang, apalagi milik negara, secara eksplisit diatur dalam Pasal 406 KUHP.
 
Menyatakan bahwa perusakan aset negara di dalam gedung dewan harus ditangani BK adalah sama saja dengan berpendapat bahwa jika seorang anggota dewan melakukan tindak pencurian atau penganiayaan di ruang fraksi, maka kasusnya cukup diselesaikan dengan “teguran” dari Ketua BK. Ini adalah logika yang tidak hanya sesat, tetapi juga menghina inteligensia publik dan mengebiri prinsip fundamental Equality Before The Law (Kesetaraan di Hadapan Hukum). Ruang paripurna bukanlah arena yang kebal hukum pidana.
Kesesatan Logika Kedua: ‘Refleks’ Sebagai Pembenaran Anarkisme
Dalih bahwa tindakan menggeruduk dan merusak meja adalah sebuah “refleks” karena merasa pembicaraannya dipotong adalah sebuah pengakuan yang justru memberatkan. Hukum pidana tidak mengenal “refleks emosional” sebagai alasan penghapus pidana untuk perusakan barang.
Seorang legislator digaji oleh uang rakyat untuk beradu argumen, bukan beradu otot. Ruang rapat adalah arena dialektika, di mana interupsi adalah bagian dari dinamika yang sah. Jika setiap interupsi harus dibalas dengan penghancuran fasilitas, maka gedung dewan tak lebih dari arena gladiator yang harus diisi oleh perabotan sekali pakai. Alih-alih melantangkan suara rakyat, yang terdengar justru suara primata yang mengamuk. Justru karena ia seorang “wakil rakyat terhormat”, standar pengendalian dirinya seharusnya berada di atas rata-rata warga biasa, bukan sebaliknya.
Kesesatan Logika ketiga: Hipokrisi Standar Ganda dan Serangan Ad Hominem
Pembelaan yang menyeret kasus aktivis mahasiswa adalah puncak dari kepanikan argumen, sebuah teknik usang yang dikenal sebagai whataboutism. Alih-alih menjawab substansi perbuatannya, ia justru menunjuk hidung orang lain. Pertanyaannya seharusnya bukan “mengapa aktivis tidak dilaporkan?”, melainkan “apakah perbuatan Anda merusak aset negara itu salah secara hukum?”. Kegagalan penegakan hukum di satu kasus (jika benar terjadi) tidak serta-merta memberikan lisensi untuk melakukan pelanggaran hukum di kasus lain.
Lebih jauh, menuduh pelapor “didesign oleh anggota DPRD tertentu” adalah sebuah serangan ad hominem yang pengecut. Ia gagal fokus pada actus reus (perbuatan melawan hukum) dan malah menyerang niat pelapor. Ini adalah cara untuk mengintimidasi dan mendelegitimasi partisipasi publik. Bukankah seharusnya seorang wakil rakyat berterima kasih karena ada warga yang peduli dan aktif mengawasi, bahkan ketika pengawasan internal melalui BK terbukti impoten?
Meja Rusak Adalah Bukti, Bukan Opini
Publik kini tidak lagi membahas dinamika interupsi yang trivial. Fokus telah bergeser pada fakta hukum yang solid: sebuah meja aset negara telah hancur. Bukan karena bencana alam, bukan karena lapuk dimakan usia, tetapi karena amarah seorang pejabat publik yang gagal mengendalikan diri.
Laporan yang dilayangkan oleh warga sipil adalah sebuah lonceng keadilan. Ini adalah tes krusial bagi Polres Bima Kota dan sistem peradilan kita: apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Ataukah setiap individu, terlepas dari jabatannya, akan ditimbang di neraca yang sama?
Mencoba berlindung di balik jubah “etik” dan “dinamika politik” untuk menutupi puing-puing tindak pidana adalah sebuah tontonan yang memuakkan. Rakyat tidak memilih meja kaca untuk dihancurkan, rakyat memilih manusia berakal untuk merumuskan kebijakan. Jika akal sudah tergantikan oleh “refleks” yang merusak, maka pertanyaan yang lebih besar memang harus dilayangkan: Masih layakkah ia mewakili akal sehat kita semua di gedung terhormat itu?



							
















