Bima, 4 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Panggung sandiwara hukum di Bima memasuki episode paling krusial. Setelah babak “Logika Sesat” dipertontonkan oleh terduga pelaku perusakan aset negara, kini sorotan tajam mengarah ke jantung penegakan hukum: Kepolisian Resor Bima Kota. Pelapor kasus, Ahmad Erik, S.H., yang akrab disapa Bung Erik, secara terbuka menantang Polres Bima Kota untuk segera menghentikan jeda yang tidak perlu dan memanggil paksa oknum Anggota DPRD Kabupaten Bima berinisial ND.
“Locus delicti (tempat kejadian perkara) sudah jelas, di ruang sidang yang terhormat. Tempus delicti (waktu kejadian) disaksikan banyak mata. Bukti materiel, yakni puing-puing meja kaca milik negara, sudah di depan mata. Lantas, apa lagi yang ditunggu oleh Polres Bima Kota? Apakah menunggu meja itu tumbuh kembali?” ujar Bung Erik dengan nada sarkasme yang tajam, Senin (4/8/2025).
Bagi Erik, penanganan kasus ini telah menjadi barometer utama untuk mengukur keberanian dan integritas aparat penegak hukum di Bima. Ia menegaskan bahwa setiap jam penundaan pemanggilan terhadap terduga pelaku adalah sebentuk pengkhianatan terhadap prinsip fundamental Equality Before The Law—kesetaraan di hadapan hukum.
Polisi Jangan Terjebak Narasi Etik yang Menyesatkan
Lebih lanjut, Bung Erik, yang juga seorang praktisi hukum, melontarkan kritik militan terhadap lambatnya gerak penyidik. Ia curiga ada upaya sistematis untuk mereduksi tindak pidana murni menjadi sekadar isu pelanggaran etika yang akan “diselesaikan secara kekeluargaan” di bawah karpet Badan Kehormatan (BK) DPRD.
“Ini adalah serangan paling telak terhadap nalar hukum kita. Sejak kapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) harus meminta izin kepada Tata Tertib DPRD? Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang itu eksis dan berlaku di setiap jengkal wilayah Republik Indonesia, termasuk di dalam toilet Gedung DPRD sekalipun!” tegasnya.
Erik menantang Kapolres Bima Kota untuk tidak terjebak dalam narasi sesat yang sengaja diembuskan untuk mengaburkan tindak pidana. Menurutnya, kepolisian harus bergerak atas dasar laporan masyarakat dan bukti awal yang lebih dari cukup, bukan malah menjadi wasit yang menunggu “lampu hijau” dari lembaga politik.
“Kami, sebagai rakyat yang membayar pajak untuk membeli meja itu dan menggaji aparat kepolisian, menuntut sikap yang tegas dan tanpa kompromi. Jubah kehormatan anggota dewan bukanlah baju zirah anti-pidana. Jika seorang pencuri ayam bisa ditangkap dalam hitungan jam, mengapa seorang pejabat publik yang diduga merusak aset negara di depan umum seolah mendapat perlakuan istimewa?” sindir Erik.
Ujian Supremasi Hukum di Polres Bima Kota
Laporan yang telah dilayangkan oleh Bung Erik bukan lagi sekadar urusan personal antara pelapor dan terlapor. Ini telah menjadi milik publik, sebuah lonceng pengingat bahwa tidak ada satu pun individu yang kebal hukum. Diamnya kepolisian hanya akan menyuburkan arogansi kekuasaan dan mengirimkan pesan berbahaya kepada masyarakat: bahwa fasilitas negara boleh dirusak asalkan pelakunya adalah orang yang “terhormat”.
“Kami minta dalam waktu secepatnya, Polres Bima Kota segera layangkan surat panggilan pemeriksaan kepada oknum ND. Jangan biarkan publik membangun spekulasi liar bahwa hukum di Bima bisa dinegosiasikan,” tutup Bung Erik dengan nada ultimatum.
Kini, bola panas tidak lagi berada di tangan politisi yang berlindung di balik dalih “refleks” dan “dinamika rapat”. Bola panas itu kini membara di meja penyidik Polres Bima Kota. Publik menanti, bukan sekadar komedi, tetapi supremasi hukum yang sesungguhnya. Pertanyaannya kini bukan lagi ‘siapa yang merusak?’, tetapi ‘kapan penegak hukum berani bertindak?’.



							
















