Bima, 5 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Menanggapi diskursus publik yang sengaja dikaburkan mengenai kasus perusakan aset negara oleh oknum Anggota DPRD Kabupaten Bima, Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI) melalui salah satu timnya, Bung Adul, mengeluarkan pernyataan tegas untuk meluruskan logika hukum yang sengaja dibengkokkan.
Menurut Bung Adul, ada dua argumen sesat yang kini gencar disebarkan untuk meracuni nalar publik, dan keduanya harus dibantah secara tuntas.
“Kami dari LBH-PRI melihat ada upaya sistematis untuk membodohi publik dengan mencampuradukkan wilayah etik dan wilayah pidana. Upaya menjadikan Badan Kehormatan (BK) sebagai tameng dari jerat hukum adalah manuver yang tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya bagi prinsip kesetaraan di hadapan hukum,” buka Bung Adul.
Ia menjelaskan lebih lanjut:
“Mari kita perjelas agar tidak ada lagi kebingungan. Badan Kehormatan itu mengadili KEHORMATAN dan ETIKA seorang anggota dewan. Pertanyaannya seputar: ‘Apakah pantas seorang wakil rakyat bertindak arogan dan merusak fasilitas?’. Sanksinya pun bersifat etik dan administratif. Sementara Kepolisian itu ranahnya PIDANA, berdasarkan KUHP. Pertanyaannya adalah: ‘Apakah unsur-unsur dalam Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang telah terpenuhi?’. Sanksinya adalah kurungan penjara. Menyatakan bahwa kasus pidana ini harus diselesaikan oleh BK adalah sama saja dengan berpendapat bahwa Gedung DPRD adalah sebuah ‘kerajaan kecil’ yang kebal dari hukum positif Republik Indonesia. Ini logika yang absurd.”
Bung Adul kemudian beralih ke argumen kedua yang dianggapnya lebih berbahaya, yakni argumen tentang “kelumrahan”.
“Argumen kedua yang kini mereka mainkan adalah bahwa tindakan merusak fasilitas di ruang dewan adalah hal yang ‘lumrah’ atau biasa terjadi dan baru kali ini ada yang melaporkan. Bagi kami, ini bukan pembelaan, ini adalah sebuah PENGAKUAN yang memalukan atas DOSA KOLEKTIF di masa lalu. Pembiaran terhadap tindakan barbar tidak serta-merta melegalkan tindakan itu menjadi sebuah ‘kearifan lokal’,” tegasnya dengan nada tinggi.
“Jika sebuah kejahatan dibiarkan terjadi berulang kali hingga dianggap normal, itu artinya sistem di dalamnya sudah sakit kronis. Maka, laporan polisi yang dilayangkan oleh saudara Ahmad Erik, S.H., bukanlah sebuah keanehan. Justru itu adalah VAKSIN dan TERAPI KEJUT pertama untuk menyembuhkan penyakit menahun ini. Laporan itu adalah perlawanan terhadap normalisasi kebobrokan.”
Menutup pernyataannya, Bung Adul menegaskan bahwa aksi massa yang akan digelar adalah puncak dari perjuangan untuk mengembalikan akal sehat dan supremasi hukum.
“Aksi kami nanti bukan lagi sekadar menuntut keadilan untuk satu meja yang hancur. Aksi kami adalah untuk menegakkan kembali tiang nalar hukum yang coba dirobohkan oleh argumen-argumen sesat itu. Kami ingin memastikan semua orang paham, bahwa di dalam Gedung DPRD sekalipun, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih berlaku dan lebih tinggi kedudukannya daripada Tata Tertib internal mana pun,” pungkasnya.




















