Bima, 8 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Proses hukum yang menjerat Zunaidin, warga Bima, atas laporan anggota DPR RI Ibu Mahdalena, kini dihadapkan pada sebuah tembok hukum yang kokoh. Sebuah putusan baru dari Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubah secara fundamental cara kita memahami delik pencemaran nama baik, menyediakan “kacamata hukum” baru yang membuat landasan kasus ini goyah.
Kasus ini menjadi ujian penting, apakah penegakan hukum akan sejalan dengan aturan main baru yang lebih adil dan melindungi kebebasan berpendapat.
Duduk Perkara dan Analisis Inti Persoalan
Untuk memahami persoalan, mari kita lihat kembali fakta dan kalimat yang menjadi pusat masalah.
- Pernyataan Zunaidin: “MAHDALENA SUKSES MEMBANGUN BISNIS KOMUNISNYA BANYAK RAKYAT TERBUNUH MATA PENCAHARIANYA”.
- Dasar Dugaan Tindak Pidana: Pasal 27A UU ITE, yang berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal…”
Selama ini, pasal tersebut seringkali ditafsirkan secara luas. Namun, Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 telah memberikan dua batasan yang sangat jelas dan mengikat. Mari kita bedah kasus Zunaidin menggunakan dua aturan baru ini.
Analisis Aturan 1: Hukum Melindungi “Pribadi”, Bukan “Jabatan”
Aturan pertama yang ditetapkan MK adalah bahwa frasa “orang lain” dalam pasal tersebut harus dimaknai sebagai individu pribadi, dan secara tegas tidak termasuk lembaga pemerintah atau jabatan.
- Logika Sederhana: Bayangkan perbedaan antara mengkritik “seragam polisi” dengan menghina “pribadi polisi”. Mengatakan, “Aturan yang ditegakkan oleh polisi itu keliru,” adalah kritik terhadap fungsi jabatannya. Ini berbeda dengan mengatakan, “Polisi itu adalah ayah yang tidak bertanggung jawab,” yang menyerang kehidupan pribadinya. MK menegaskan, Pasal 27A hanya melindungi serangan pada pribadi, bukan pada “seragam” atau jabatannya.
- Penerapan pada Kasus: Ibu Mahdalena adalah seorang pejabat publik, anggota DPR RI. Pernyataan Zunaidin yang mengaitkan namanya dengan “bisnis” dan dampaknya pada “mata pencaharian rakyat” jelas merupakan kritik yang menyangkut peran dan pengaruhnya dalam ranah publik, yang melekat pada jabatannya. Menurut aturan baru MK, kritik terhadap jabatan seperti ini telah dikeluarkan dari jangkauan Pasal 27A. Ini adalah pilar pertama yang membuat kasus ini kehilangan pijakan.
Analisis Aturan 2: Kritik “Pekerjaan” Berbeda dengan Serangan “Martabat Pribadi”
Aturan kedua dari MK memperjelas bahwa “suatu hal” yang dituduhkan haruslah tentang “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang” secara personal.
Logika Sederhana: Mari gunakan analogi seorang koki. Mengatakan, “Masakan koki ini tidak enak dan resepnya buruk,” adalah kritik terhadap pekerjaan atau hasil karyanya. Ini menyakitkan, namun tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia. Berbeda jika ada yang menuduh, “Koki ini seorang pencuri,” ini adalah tuduhan atas perbuatan tercela yang merendahkan martabat pribadinya. MK menegaskan, hanya tuduhan seperti yang kedua yang menyerang martabat pribadi yang dapat dipidana.
Penerapan pada Kasus: Mari kita pecah kalimat Zunaidin:
- Subjek: Mahdalena
- Tindakan/Pekerjaan yang Dikritik: Membangun “bisnis komunisnya”.
- Dampak yang Dikritik: Merugikan mata pencaharian rakyat.
Fokus utama kalimat ini adalah kritik terhadap sebuah aktivitas (pekerjaan) dan hasilnya. Zunaidin tidak menuduh Ibu Mahdalena melakukan perbuatan asusila, mencuri, atau tindakan lain yang merendahkan martabatnya sebagai seorang ibu atau individu. Ia mengkritik model bisnis yang dijalankan. Sekalipun menggunakan bahasa yang sangat keras, substansinya tetap berada dalam ranah kritik pekerjaan, bukan serangan terhadap martabat pribadi. Ini adalah pilar kedua yang membuat kasus ini semakin goyah.
Kesimpulan: Pondasi Hukum yang Runtuh
Dengan dua pilar kokoh dari Putusan Mahkamah Konstitusi ini, dasar hukum untuk melanjutkan proses pidana terhadap Zunaidin secara efektif runtuh.
- Kritik Zunaidin ditujukan pada jabatan publik, yang oleh MK telah dikecualikan dari perlindungan Pasal 27A.
- Substansi kritiknya adalah tentang pekerjaan, bukan tuduhan atas perbuatan yang merendahkan martabat pribadi sesuai definisi baru MK.
Melanjutkan kasus ini berarti mengabaikan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Kasus Zunaidin kini menjadi contoh paling jelas tentang bagaimana konstitusi bekerja melindungi hak warga negara untuk mengawasi dan mengkritik para pejabatnya, memastikan hukum menjadi alat keadilan, bukan alat untuk membungkam suara rakyat.




















