Bima, 8 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Babak baru dalam kasus dugaan pelanggaran UU ITE yang menjerat Zunaidin, seorang warga Bima, resmi dimulai. Tepat pada pukul 15:30 WITA, hari Jum’at, Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI) secara resmi menandatangani surat kuasa khusus untuk memberikan pendampingan hukum penuh. Langkah ini mengubah secara fundamental dinamika kasus yang dilaporkan oleh anggota DPR RI, Ibu Mahdalena, dan mempertanyakan kelayakan proses hukum yang sedang berjalan di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda NTB.
Dengan LBH-PRI di sisinya, Zunaidin tidak lagi hanya memohon kebijaksanaan, tetapi kini secara tegas menuntut agar penegakan hukum dijalankan sesuai dengan koridor konstitusi, terutama pasca-adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai meruntuhkan dasar laporan terhadapnya. Tim hukum yang solid kini siap berhadapan dengan penyidik, berbekal argumen hukum yang kokoh bahwa melanjutkan kasus ini adalah sebuah kekeliruan fatal.
Zunaidin: “Saya Siap Hadapi, Tapi Keadilan Harus Ditegakkan di Tanah Bima”
Sebagai pihak terlapor yang kini mendapatkan amunisi hukum, Zunaidin menyambut baik pendampingan dari LBH-PRI. Nada bicaranya yang semula penuh permohonan, kini terdengar lebih tegar dan penuh keyakinan, meskipun tetap menunjukkan sikap kooperatif.
“Saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada LBH-PRI yang bersedia berdiri bersama saya. Kehadiran mereka adalah sumber kekuatan bagi saya, rakyat kecil yang mencoba bersuara,” ujarnya saat dihubungi.
Ia menegaskan kembali kesiapannya untuk bertanggung jawab, namun kini dengan penekanan pada hak-haknya sebagai warga negara. “Sejak awal saya siap menghadapi proses hukum ini. Namun, pendampingan ini menegaskan bahwa perjuangan saya bukan untuk lari, melainkan untuk memastikan hukum diterapkan secara adil. Permohonan saya agar diperiksa di Bima bukan lagi sekadar permintaan belas kasihan, tetapi sebuah hak untuk mendapatkan akses keadilan yang tidak memberatkan. Saya tidak ingin dianggap tidak kooperatif hanya karena kendala geografis dan ekonomi yang nyata. Saya siap, tapi periksa saya di tanah kelahiran saya, di Bima.”
Direktur LBH-PRI, Imam Muhajir: “Kasus Ini Seharusnya Ditutup, Melanjutkan Adalah Pembangkangan Terhadap Konstitusi”
Tanggapan paling tajam datang dari Direktur LBH-PRI, Imam Muhajir. Ia secara lugas menyatakan bahwa proses penyidikan oleh Polda NTB cacat secara yuridis (hukum) sejak awal karena mengabaikan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan tertinggi.
“Mari kita bicara fakta hukum. Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 adalah ‘game changer’. Putusan itu secara eksplisit menyatakan bahwa Pasal 27A UU ITE tidak dapat digunakan untuk menjerat kritik yang ditujukan kepada pejabat publik dalam kapasitas jabatannya. Kritik Zunaidin, sekeras apapun bahasanya, jelas menargetkan Ibu Mahdalena dalam perannya sebagai pejabat publik terkait ‘bisnis’ dan dampaknya pada rakyat,” tegas Imam.
“Kedua, MK juga membatasi bahwa delik ini hanya berlaku untuk tuduhan perbuatan yang merendahkan martabat pribadi, seperti mencuri atau berbuat asusila, bukan kritik atas ‘pekerjaan’ atau ‘kebijakan’. Dengan dua pilar ini, dasar hukum laporan tersebut telah runtuh. Melanjutkan penyidikan ini bukan lagi penegakan hukum, melainkan upaya kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat dan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Seharusnya, dengan dasar putusan MK, SPDP ini tidak pernah terbit, dan kasus ini harus segera dihentikan demi hukum (SP3).”
Administrator LBH-PRI, Saifullah: “Kami Akan Surati Polda NTB Secara Resmi”
Saifullah, sebagai administrator, menyoroti langkah-langkah administratif dan prosedural yang akan segera diambil oleh LBH-PRI.
“Setelah penandatanganan surat kuasa ini, langkah pertama kami adalah mengirimkan surat resmi kepada Dirkrimsus Polda NTB. Surat tersebut akan berisi dua poin utama: pertama, permohonan penghentian penyidikan berdasarkan Putusan MK yang kami jelaskan secara rinci. Kedua, jika penyidikan tetap dipaksakan, kami menuntut agar pemeriksaan terhadap klien kami dilaksanakan di wilayah hukum Polres Bima,” jelas Saifullah.
Ia menambahkan, “Ini sejalan dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Memaksa Zunaidin ke Mataram dengan segala keterbatasannya adalah bentuk penghalangan akses terhadap keadilan itu sendiri. Kami akan pastikan semua prosedur kami tempuh untuk melindungi hak-hak klien kami secara maksimal.”
Tim Non-Litigasi, Muhlis & Muhaimin: “Ini Pertarungan Melawan Pembungkaman Suara Kritis Rakyat”
Muhlis dan Muhaimin dari Tim Non-Litigasi melihat kasus ini dari perspektif yang lebih luas, yakni sebagai pertarungan antara hak warga negara untuk mengawasi dan potensi pembungkaman oleh kekuasaan.
“Kasus Zunaidin adalah cerminan dari fenomena yang lebih besar,” ujar Muhlis. “Ini adalah tentang bagaimana pejabat publik merespons kritik. Alih-alih menjadikan kritik sebagai bahan evaluasi, UU ITE justru sering dijadikan tameng untuk membungkam suara-suara sumbang. Padahal, kontrol sosial dari masyarakat seperti yang dilakukan Zunaidin adalah jantung dari demokrasi.”
Muhaimin menambahkan, “Tugas kami di tim non-litigasi adalah mengedukasi publik dan aparat penegak hukum tentang implikasi Putusan MK ini. Kasus ini menjadi momentum penting untuk literasi hukum. Masyarakat harus tahu batas-batas kritik yang dilindungi konstitusi, dan aparat harus paham bahwa tidak semua laporan pencemaran nama baik, terutama yang menyangkut pejabat publik, bisa serta-merta diproses secara pidana. Ini adalah pertarungan narasi antara kebebasan berekspresi melawan arogansi kekuasaan.”
Tim Tenaga Ahli, Guntur: “Unsur Pidana Tidak Terpenuhi, Memaksakan Kasus Ini Sia-Sia Secara Hukum”
Sebagai tenaga ahli, Guntur memberikan analisis hukum yang mendalam dan konklusif, menegaskan bahwa secara materiil, unsur-unsur pidana dalam kasus ini tidak lagi terpenuhi.
“Analisisnya sederhana jika kita menggunakan ‘kacamata’ baru dari MK,” papar Guntur. “Pasal 27A menuntut adanya tiga unsur: (1) menyerang kehormatan/nama baik, (2) orang lain, (3) dengan menuduhkan suatu hal. Putusan MK telah mendefinisikan ulang ‘orang lain’ sebagai pribadi, bukan jabatan. Dan ‘suatu hal’ sebagai tuduhan perbuatan tercela yang merendahkan martabat personal, bukan kritik pekerjaan.”
“Kalimat Zunaidin gagal memenuhi dua unsur kunci tersebut. Subjek yang dikritik adalah pejabat publik terkait fungsinya, dan objek kritiknya adalah ‘bisnis’ dan dampaknya, yang masuk kategori pekerjaan. Dengan demikian, unsur-unsur materiil dari delik tersebut tidak terpenuhi. Secara hukum, ini berarti tidak ada tindak pidana. Memaksakan kasus ini ke pengadilan akan menjadi sebuah kesia-siaan hukum yang hanya akan membuang waktu dan energi, serta berpotensi besar untuk ditolak oleh hakim karena dasar hukumnya sudah diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi.”




















