banner 728x250

Jangan Hanya Omon-Omon, Bukti LHP Harus Masuk Ranah Hukum atau Rafidin DPRD Bima Berisiko Terlibat Pembiaran Kejahatan

Bima, 9 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Eskalasi drama politik antara anggota DPRD Bima, Rafidin, S.Sos., dan Sekretaris Daerah (Sekda) Bima, Adel Linggiardi, kini memasuki babak baru dengan intervensi dari praktisi hukum. Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI) angkat bicara, mendesak Rafidin untuk segera mengakhiri polemik media dan menempuh jalur hukum yang semestinya.
Salah seorang Tim Advokasi Non Litigasi dari LBH-PRI, Ahmad Erik, yang akrab disapa Bung Erik, menegaskan bahwa klaim yang dilontarkan oleh seorang pejabat publik seperti anggota dewan tidak bisa berhenti sebagai wacana di media sosial. Menurutnya, tindakan Rafidin yang mengklaim memiliki Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang memberatkan Sekda Bima kini berada di persimpangan jalan antara penegakan hukum dan pelanggaran hukum itu sendiri.
“Publik sudah cerdas. Jangan lagi ada panggung retorika. Kalau memang data itu ada dan valid, buktikan. Jangan hanya ‘omon-omon doang’,” tegas Bung Erik dalam keterangan resminya, Sabtu (9/8/2025).
Analisis Hukum LBH-PRI: Dari Pelapor Menjadi Terlapor
Lebih jauh, Bung Erik memaparkan gagasan hukum yang dapat menjerat Rafidin jika ia tidak menindaklanjuti klaimnya secara hukum. Menurutnya, posisi Rafidin sebagai anggota DPRD memberinya tanggung jawab moral dan hukum yang lebih besar daripada masyarakat biasa.
“Dalam perspektif hukum pidana, khususnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap orang yang mengetahui adanya dugaan korupsi wajib melaporkannya. Apalagi seorang wakil rakyat,” jelasnya.
LBH-PRI menyoroti potensi risiko hukum yang dihadapi Rafidin:
Delik Pembiaran Tindak Pidana Korupsi: Menurut Bung Erik, jika Rafidin benar-benar memegang LHP yang merupakan bukti permulaan yang cukup atas dugaan kerugian negara, namun dengan sengaja tidak menyerahkannya kepada Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Kejaksaan atau Kepolisian, maka ia dapat dituduh melakukan pembiaran. “Dengan mengetahui adanya kejahatan namun tidak melaporkannya, apalagi jika bukti itu hanya dijadikan alat tawar politik atau untuk menekan lawan, maka posisinya bergeser dari seorang pelapor menjadi seseorang yang berpotensi turut serta dalam menyembunyikan kejahatan,” papar Erik. Hal ini, menurutnya, dapat dikategorikan sebagai tindakan menghalangi proses hukum atau obstruction of justice.
Penyertaan dalam Kejahatan (Deelneming): Dalam skenario terburuk, jika LHP tersebut digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik tertentu di luar koridor hukum, Rafidin bisa dianggap terlibat dalam bentuk penyertaan (turut serta atau medepleger). “Ketika bukti kejahatan tidak digunakan untuk keadilan, melainkan untuk kepentingan lain, maka ia telah menyalahgunakan informasi tersebut. Ini adalah bentuk persekongkolan jahat yang tidak bisa dibenarkan secara hukum,” lanjutnya.
Pencemaran Nama Baik dan Penyebaran Berita Bohong: Sebaliknya, jika LHP yang dimaksud tidak ada atau isinya tidak sekuat yang diklaimkan, maka Rafidin secara terang-terangan telah melakukan tindak pidana berdasarkan UU ITE. “Klaimnya sudah spesifik: ‘fakta LHP’ dan ‘Sekda mengakui’. Ini bukan lagi opini, tapi pernyataan fakta. Jika fakta itu tidak terbukti, konsekuensi hukumnya sangat jelas,” tambah Bung Erik.
LBH-PRI menyerukan agar Rafidin segera mengambil sikap ksatria dengan menyerahkan seluruh bukti yang ia miliki ke Kejaksaan Negeri Bima. Langkah ini tidak hanya akan menguji kebenaran tuduhannya terhadap Sekda, tetapi juga akan menyelamatkan dirinya dari potensi jeratan hukum yang ia ciptakan sendiri.
“Ini adalah pertaruhan kredibilitas institusi DPRD dan pribadi Rafidin sendiri. Apakah ia seorang pemberantas korupsi sejati atau hanya seorang politisi yang sedang memainkan drama? Langkah hukumnya ke Kejari adalah satu-satunya jawaban yang ditunggu publik,” tutup Bung Erik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *