banner 728x250

NEGARA RUGI DUA KALI: Dugaan Korupsi Sekda Tak Diusut, LHP Malah Jadi Alat Gertak Bupati Bima

BIMA, 12 Agustus 2025 || Kawah NTB – Polemik Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terhadap Sekretaris Daerah (Sekda) Bima, Ade Linggiardi, memasuki babak baru yang mengkhawatirkan. Alih-alih menjadi pintu masuk penegakan hukum, LHP tersebut kini menjelma menjadi apa yang oleh publik disebut sebagai “pengadilan jalanan”. Sikap Bupati Bima, Ady Mahyudi, yang diduga kuat tidak membawa temuan tersebut ke ranah hukum telah mengubah dokumen audit negara menjadi pedang eksekusi politik, sebuah manuver yang secara terang-terangan menabrak rambu-rambu hukum pidana dan etika pemerintahan.

Langkah Bupati Ady Mahyudi untuk “mendiamkan” proses hukum LHP ini telah melahirkan vonis politik tanpa pengadilan. Sekda Ade Linggiardi dilumpuhkan secara reputasi dan posisi, sementara sang Bupati mengamankan kekuasaannya. Namun, di balik kemenangan politik jangka pendek ini, terbentang sebuah pelanggaran fundamental terhadap prinsip supremasi hukum.

Dari kacamata hukum, tindakan Bupati ini bukan sekadar manuver politik, melainkan sebuah potensi penyalahgunaan wewenang yang serius. Para ahli hukum menegaskan bahwa Bupati sama sekali tidak memiliki hak prerogatif untuk memilih antara penyelesaian hukum atau “penyelesaian kekeluargaan” dalam kasus yang terindikasi korupsi.

Kewajiban Hukum yang Diabaikan

Persoalan utamanya terletak pada status hukum tindak pidana korupsi. Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi digolongkan sebagai delik biasa, bukan delik aduan. Artinya, proses hukum wajib berjalan jika terdapat bukti permulaan yang cukup, tanpa memerlukan laporan dari pihak yang dirugikan. Negara, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bima, tidak bisa memilih untuk “memaafkan” atau mendamaikan sebuah kejahatan yang merugikan dirinya sendiri.

“LHP dari Inspektorat yang berisi indikasi pidana dan kerugian negara adalah bukti permulaan yang sah,” tegas seorang analis hukum tata negara. “Berdasarkan hukum, Bupati selaku kepala daerah memiliki kewajiban hukum yang tidak bisa ditawar untuk segera menyerahkan LHP tersebut kepada Aparat Penegak Hukum (APH), baik itu Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK.”

Dengan tidak menindaklanjuti LHP ke jalur hukum, Bupati Bima berisiko terjerat pasal pidana lain yang tak kalah serius: menghalangi proses peradilan atau obstruction of justice. Tindakan menggunakan LHP sebagai alat tawar politik atau untuk membungkam lawan adalah bentuk intervensi terhadap proses hukum yang seharusnya berjalan.

Warisan Tata Kelola yang Terancam

Pilihan Bupati Ady Mahyudi menciptakan preseden berbahaya bagi masa depan tata kelola pemerintahan di Bima. Ia membangun sebuah warisan di mana supremasi hukum dapat tunduk pada kalkulasi dan kepentingan kekuasaan. Kepercayaan publik pilar utama dari kontrak sosial antara pemimpin dan rakyatnya kini terkikis secara fatal.

Mandat yang diberikan rakyat kepada seorang pemimpin adalah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan adil. Ketika mandat itu digunakan untuk melumpuhkan lawan politik alih-alih menegakkan hukum, maka manfaat dari perjanjian itu hilang, dan legitimasi sang pemimpin pun tergerus oleh tindakannya sendiri.

Pada akhirnya, panggung drama ini tidak lagi hanya menyorot nasib Sekda Ade Linggiardi. Sorotan itu kini berbalik tajam ke arah Bupati Ady Mahyudi. LHP yang seharusnya menjadi cermin untuk membersihkan birokrasi, kini justru menjadi cermin yang memantulkan wajah kepemimpinan yang memilih kekuasaan daripada keadilan. Publik Bima kini menjadi juri dalam pengadilan sejarah yang akan mengukir catatan kelam ini dalam warisan politik daerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *