BIMA, 13 Agustus 2025 || Kawah NTB – Panggung penegakan hukum di Bima kini menampilkan sebuah pertunjukan yang sangat memprihatinkan. Di satu sisi, Perum BULOG Cabang Bima dengan percaya diri memainkan alibi “surat sakti rahasia” untuk menjustifikasi kebijakan penghapusan biaya transportasi jagung. Di sisi lain, Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima, sang sutradara penegakan hukum, memilih peran sebagai penonton bisu yang enggan naik ke panggung.
Duel maut antara dalih absurd dan keheningan institusional ini telah menciptakan sebuah zona nyaman yang sempurna bagi para terduga pelaku korupsi. Kepercayaan publik kini terkikis hingga ke tingkat paling dalam, memicu spekulasi paling tabu: Jangan-jangan, keheningan jaksa telah dibeli dengan ‘mahar penutup mulut’ yang dibungkus rapi oleh pihak Bulog.
Mitos ‘Surat Sakti’: Benteng Kertas yang Dilegitimasi oleh Keheningan Jaksa
Klaim pihak Bulog bahwa kebijakan yang merugikan ribuan petani itu didasarkan pada “surat rahasia internal” adalah sebuah argumen yang secara hukum dan logika sudah runtuh sejak awal.
Pertama, Secara Hukum Ini Adalah Omong Kosong. Direktur LBH-PRI, Imam Muhajir, S.H., menegaskan bahwa tidak ada istilah “rahasia perusahaan” yang kebal terhadap penyidikan pidana. “Kejaksaan punya wewenang memaksa berdasarkan UU untuk menyita dokumen apapun. Jika Bulog menolak dengan alasan ‘rahasia’, itu sudah masuk delik baru: menghalang-halangi proses penyidikan (obstruction of justice). Jaksa harusnya marah, bukan malah diam,” tegasnya.
Kedua, Secara Etika Ini Adalah Pengkhianatan. Bulog adalah badan publik, bukan lembaga intelijen negara. Menyembunyikan kebijakan yang berdampak pada hajat hidup orang banyak di balik label “rahasia” adalah bentuk arogansi kekuasaan dan pengkhianatan terhadap amanat pelayanan publik.
Yang lebih berbahaya, diamnya Kejari Raba Bima justru memberikan oksigen dan legitimasi pada “benteng kertas” yang dibangun Bulog. “Dengan tidak segera memanggil dan menyita paksa ‘surat sakti’ itu, Kejari seolah-olah mengamini bahwa dalih tersebut valid. Ini adalah preseden paling berbahaya. Besok, semua koruptor bisa membuat ‘surat rahasia’ versinya sendiri untuk lolos dari jerat hukum,” sindir Imam.
Wajah Buruk Kejari Bima: Merusak Marwah Institusi Penegak Hukum
Perilaku Kejari Raba Bima dalam kasus ini telah mencoreng wajah korps Adhyaksa secara keseluruhan. Keheningan mereka yang pekat dan tidak wajar dalam menghadapi kasus yang terang benderang ini telah merusak marwah institusi penegak hukum yang ada di Bima.
Menciptakan Spekulasi ‘Hukum Transaksional’.
Diamnya jaksa telah membuka pintu bagi spekulasi paling merusak: bahwa hukum di Bima bisa dinegosiasikan. Publik kini wajar bertanya, “Apa yang membuat jaksa begitu takut atau enggan menyentuh Bulog? Apakah ‘surat sakti’ itu benar-benar sakti, atau datang dengan amplop sakti sebagai mahar penutup mulut?” Pertanyaan ini muncul bukan tanpa alasan, melainkan karena perilaku jaksa sendiri yang tidak dapat dijelaskan dengan logika hukum.
Mengajarkan ‘Buku Panduan’ Korupsi.
Sikap Kejari ini sedang menulis sebuah buku panduan (playbook) bagi para calon koruptor di masa depan: “Buatlah kebijakan lancung, bungkus dengan stempel ‘rahasia internal’, lalu andalkan keengganan aparat lokal untuk bertindak.” Ini adalah warisan terburuk yang bisa ditinggalkan oleh sebuah lembaga penegak hukum.
Tuntutan Publik: Bongkar ‘Surat Sakti’ atau Kepercayaan Mati!
Kasus ini tidak bisa dibiarkan menjadi preseden. Publik tidak lagi hanya menuntut penyelidikan, tetapi menuntut keberanian dan tindakan nyata dari Kejari Raba Bima untuk:
Segera Panggil Paksa dan Periksa Pimpinan Bulog Bima untuk mempertanggungjawabkan klaim “surat rahasia” mereka.
Sita Dokumen ‘Surat Sakti’ Tersebut sebagai bukti utama. Gunakan kewenangan yang diberikan negara untuk merobek benteng kertas itu.
Hentikan Sandiwara Ini dan berikan kepastian hukum kepada publik dan para petani yang menjadi korban.
Wajah buruk yang dipertontonkan Kejari Bima saat ini adalah cerminan dari krisis integritas yang serius. Jika mereka tidak segera bergerak untuk membongkar konspirasi ini, maka jangan salahkan publik jika mereka menyimpulkan bahwa marwah Kejaksaan telah benar-benar mati, terkubur dalam diam di bawah tumpukan dalih dan dugaan transaksi gelap.



							
















