Bima, 13 Agustus 2025 || Kawah NTB – Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI) secara resmi melayangkan permohonan Rapat Dengar Pendapat (RDP) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bima pada Rabu, 13 Agustus 2025. Langkah ini diambil menyusul dugaan kuat adanya pelanggaran konstitusional berupa rangkap jabatan yang melibatkan Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Bima, Murni Suciyanti, yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Penggerak PKK (TP-PKK) Kabupaten Bima.
Dalam surat bernomor 018/SP/LBH-PRI/VIII/2025 yang diterima pada pukul 14:30 WITA, LBH-PRI tidak hanya meminta RDP, tetapi juga mendesak Badan Kehormatan (BK) DPRD untuk memproses pemberhentian Murni Suciyanti sebagai anggota dewan. Lembaga tersebut menilai rangkap jabatan ini menciptakan konflik kepentingan yang nyata dan bertentangan secara diametral dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Landasan Yuridis dan Potensi Konflik Kepentingan
Direktur LBH-PRI, Imam Muhajir, bersama Tim Advokasi Non-Litigasi, Muhaimin dan Muhlis, memaparkan analisis hukum yang kritis sebagai dasar permohonan. Menurut mereka, praktik rangkap jabatan oleh pimpinan DPRD tersebut secara terang-benderang menabrak Pasal 236 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
“Pasal tersebut secara eksplisit melarang anggota DPRD merangkap jabatan sebagai pejabat pada badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN atau APBD,” tegas Imam Muhajir.
LBH-PRI menggarisbawahi status TP-PKK sebagai entitas yang pendanaannya bersumber dari APBD, yang dikuatkan oleh Pasal 18 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2013. Dengan demikian, jabatan Ketua TP-PKK yang dipegang oleh Murni Suciyanti secara hukum tidak dapat digabungkan dengan posisinya sebagai Wakil Ketua DPRD.
“Ini adalah situasi konflik kepentingan yang absolut,” tambah Muhaimin. “Saudari Murni Suciyanti berada dalam posisi sebagai pihak yang menyetujui anggaran melalui fungsi legislatifnya, sekaligus menjadi pelaksana dan pengguna anggaran tersebut sebagai pimpinan PKK. Ini membuka celah besar untuk penyalahgunaan wewenang demi mengalokasikan anggaran yang tidak proporsional bagi organisasi yang dipimpinnya, yang pada akhirnya mencederai prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih.”
Tuntutan Sanksi Tegas Tanpa Alternatif
LBH-PRI menegaskan bahwa konsekuensi hukum atas pelanggaran ini bersifat imperatif dan tidak menyisakan ruang untuk interpretasi lain. Mereka merujuk pada Pasal 237 ayat (2) UU MD3, yang menyatakan bahwa anggota DPRD yang terbukti melanggar larangan tersebut akan dikenai sanksi pemberhentian.
“Undang-undang tidak menyediakan sanksi alternatif yang lebih ringan. Sanksinya adalah pemberhentian. Oleh karena itu, kami mendesak Badan Kehormatan untuk bertindak tegas dan tanpa pandang bulu,” ujar Muhlis.
Melalui RDP yang diajukan, LBH-PRI bermaksud untuk memaparkan seluruh analisis yuridis beserta bukti-bukti yang relevan secara langsung kepada Badan Kehormatan. Mereka berharap BK DPRD dapat segera memproses dugaan pelanggaran ini secara transparan dan akuntabel untuk menjaga marwah dan kehormatan institusi legislatif di mata publik.
“Pembiaran terhadap kasus ini akan menjadi preseden buruk dan merusak kepercayaan publik secara permanen. Badan Kehormatan adalah garda terdepan penjaga kehormatan dewan, dan inilah saatnya mereka membuktikan integritasnya,” tutup Imam Muhajir.



							
















