Bima, 14 Agustus 2025 || Kawah NTB – Polemik rangkap jabatan yang menjerat Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Bima, Murni Suciyanti, memasuki babak baru yang lebih tajam. Sehari setelah laporan resmi dilayangkan, Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI) membeberkan informasi krusial yang diyakini sebagai dampak fatal dari konflik kepentingan tersebut: lonjakan drastis anggaran Tim Penggerak PKK (TP-PKK) Kabupaten Bima yang kini dipimpin oleh Murni Suciyanti.
Informasi yang dihimpun LBH-PRI menunjukkan bahwa anggaran untuk PKK pada tahun sebelumnya berada di angka Rp 500 juta. Namun, pada tahun anggaran berjalan di mana Murni Suciyanti aktif menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Bima sekaligus Ketua TP-PKK, anggaran tersebut meroket hingga Rp 1,5 Miliar kenaikan fantastis sebesar 200%.
Direktur LBH-PRI, Imam Muhajir, menyebut temuan ini sebagai “bukti yang tidak terbantahkan” dari praktik konflik kepentingan yang mereka laporkan.
“Ini bukan lagi sekadar dugaan teoritis tentang konflik kepentingan, ini adalah bukti nyata bagaimana kekuasaan ganda itu dieksploitasi,” tegas Imam Muhajir, Kamis (14/8/2025). “Angka-angka ini berbicara lebih keras dari argumen manapun. Bagaimana mungkin anggaran sebuah organisasi bisa melonjak tiga kali lipat tanpa adanya pengaruh dari posisi strategis pimpinannya di badan legislatif?”
Analisis Strategi Politik ‘Catur Perang’
LBH-PRI menafsirkan rangkap jabatan ini bukan sebagai kelalaian administrasi, melainkan sebagai sebuah strategi politik catur perang yang dimainkan secara sadar oleh Murni Suciyanti, yang juga merupakan Istri dari Bupati Bima.
Menurut analisis Tim Advokasi Non-Litigasi LBH-PRI, Muhaimin, Murni Suciyanti secara efektif menguasai dua bidak paling vital dalam papan catur pemerintahan daerah:
Benteng Legislasi (Sebagai Wakil Ketua DPRD): Dalam posisinya, ia memiliki kewenangan dan pengaruh besar dalam proses pembahasan dan persetujuan anggaran (fungsi budgeting). Ia berada di jantung kekuasaan yang mengetuk palu APBD.
Ratu Eksekusi (Sebagai Ketua TP-PKK): Di sisi lain, ia adalah pimpinan tertinggi organisasi yang menjadi pelaksana dan penerima manfaat langsung dari anggaran yang telah ia setujui.
“Ini adalah manuver politik untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan anggaran dalam satu genggaman,” papar Muhaimin. “Saudari Murni Suciyanti menempatkan dirinya sebagai pengontrol sekaligus pelaksana. Ia yang merancang kebutuhan anggaran lewat PKK, lalu ia sendiri yang ikut menyetujuinya di DPRD. Ini adalah definisi absolut dari konflik kepentingan yang mencederai prinsip checks and balances.”
Konflik Kepentingan yang Terang Benderang
Kenaikan anggaran dari Rp 500 juta menjadi Rp 1,5 Miliar menjadi sorotan utama karena menggambarkan secara gamblang bagaimana posisi gandanya berpotensi besar disalahgunakan. Sebagai legislator, tugasnya adalah mengawasi dan memastikan alokasi APBD berjalan efisien dan prorakyat. Namun, sebagai Ketua PKK, ia memiliki kepentingan langsung untuk memperbesar alokasi dana bagi organisasinya.
“Pertanyaannya sederhana: apakah kenaikan 200% ini didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat yang paling mendesak, atau didasarkan pada kepentingan organisasi yang kebetulan dipimpin oleh seorang pimpinan dewan? Inilah dampak fatal yang kami maksud. Uang rakyat berpotensi dialokasikan secara tidak proporsional,” tambah Muhlis dari tim LBH-PRI.
Dengan temuan baru ini, LBH-PRI semakin mendesak Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Bima untuk tidak ragu-ragu menerapkan sanksi maksimal sesuai Pasal 237 ayat (2) UU MD3, yaitu pemberhentian. Mereka menilai bahwa bukti yang ada sudah lebih dari cukup untuk membuktikan adanya pelanggaran berat terhadap konstitusi dan etika jabatan.
“Badan Kehormatan tidak punya pilihan lain selain memproses ini hingga tuntas. Membiarkan ‘permainan catur’ ini berlanjut berarti mengorbankan integritas lembaga DPRD dan kepercayaan publik demi kepentingan segelintir elite,” tutup Imam Muhajir.



							
















