BIMA, 16 Agustus 2025 || Kawah NTB – Di panggung politik Kabupaten Bima, sebuah manuver kekuasaan dipertontonkan dengan begitu gamblang, meninggalkan publik dalam posisi penonton yang hanya bisa “menggigit jari”. Kenaikan fantastis anggaran TP-PKK hingga Rp 1,5 Miliar yang berhulu pada rangkap jabatan strategis Istri Bupati Bima, Murni Suciyanti, adalah sebuah fenomena yang jika dibedah secara kritis, menyingkap adanya kalkulasi kekuatan, kelemahan sistemik, peluang elite, dan ancaman besar bagi masa depan tata kelola daerah.
Arsitektur Konsolidasi Kekuasaan yang Sempurna
Jika dilihat dari perspektif pemegang kuasa, rangkap jabatan Murni Suciyanti bukanlah sebuah kelalaian, melainkan sebuah kekuatan yang dirancang nyaris sempurna. Dengan menduduki tiga titik vital secara bersamaan sebagai Istri Bupati (simbol eksekutif), Wakil Ketua DPRD (otoritas legislatif), dan Ketua TP-PKK (eksekutor program) tercipta sebuah lingkaran tertutup yang memungkinkan aliran kebijakan dan anggaran berjalan mulus tanpa hambatan. Kekuatan ini terletak pada kemampuannya untuk mengusulkan anggaran melalui satu pintu (PKK) dan mengetuk palu persetujuan melalui pintu lain (DPRD) yang berada dalam satu genggaman. Ini adalah efektivitas kekuasaan dalam bentuknya yang paling murni, sekaligus paling problematis.
Cacat Logika dan Kematian Fungsi Pengawasan
Di balik kekuatan yang tampak solid, terdapat kelemahan fundamental yang menggerogoti dari dalam: matinya prinsip checks and balances. Sistem yang dibangun menjadi rapuh karena meniadakan fungsi pengawasan, yang merupakan syarat utama demokrasi sehat. Praktik di mana seorang legislator mengawasi dan menyetujui anggaran untuk organisasi yang dipimpinnya sendiri adalah sebuah cacat logika pemerintahan. Kelemahan terbesarnya adalah, struktur ini hanya kuat selama tidak ada yang mempertanyakan. Sekali sorotan publik dan lembaga hukum (seperti LBH-PRI) menyorotnya, fondasi legitimasinya langsung goyah.
Biaya Peluang Rakyat yang Terampas
Setiap manuver politik pasti mengincar sebuah peluang. Dalam kasus ini, peluang yang diambil adalah mengamankan alokasi Rp 1,5 Miliar untuk sebuah organisasi yang berada di bawah kendali langsung. Namun, ironisnya, peluang yang direbut oleh segelintir elite ini menciptakan “biaya peluang” (opportunity cost) yang harus dibayar mahal oleh rakyat. Selisih kenaikan Rp 1 Miliar adalah nilai peluang yang hilang bagi publik.
Peluang yang terampas itu bisa berupa:
5-7 gedung SD yang batal direhabilitasi.
1-2 kilometer jalan desa yang tetap terisolir.
2-3 unit Poskesdes yang gagal dibangun.
100-200 pelaku UMKM yang kehilangan kesempatan mendapat modal.
Saat elite merebut peluang untuk agenda mereka, rakyat kehilangan peluang untuk mendapatkan hak-hak dasar yang lebih mendesak. Inilah inti dari frasa “rakyat nonton sambil gigit jari”.
Krisis Kepercayaan dan Delegitimasi Institusi
Langkah ini, sadar atau tidak, telah memicu serangkaian ancaman serius. Ancaman paling nyata adalah ledakan kemarahan publik yang berujung pada krisis kepercayaan. Namun, ancaman yang lebih berbahaya adalah delegitimasi institusi DPRD secara permanen. Jika dewan gagal menjalankan fungsi Badan Kehormatan untuk menjatuhkan sanksi maksimal berupa pemberhentian sesuai amanat UU MD3, maka DPRD di mata publik tak lebih dari sekadar alat stempel kepentingan keluarga penguasa.
Ancaman lainnya adalah terbukanya pintu bagi audit investigatif oleh lembaga negara yang lebih tinggi. Pada titik ini, pilihan yang tersisa bagi para elite di Bima sangatlah terbatas: mempertahankan satu individu dan membiarkan institusi runtuh, atau menyelamatkan marwah lembaga dengan menegakkan aturan tanpa kompromi.




















