BIMA, 18 Agustus 2025 || Kawah NTB – Di panggung penegakan hukum Bima, sebuah komedi tragis sedang dipentaskan. Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima, yang seharusnya menjadi predator utama bagi para koruptor, kini tampak jinak di hadapan Perum Bulog Cabang Bima. Dengan dugaan kerugian negara fantastis di atas 2 miliar rupiah, sikap diam Kejari memicu satu pertanyaan fundamental yang dianalisis melalui teori pilihan rasional (rational choice theory): Apakah diam adalah pilihan paling menguntungkan bagi oknum di Kejari?
Dalam teori ini, setiap aktor diasumsikan membuat keputusan setelah menimbang untung-rugi. Mari kita bedah kalkulasi absurd yang mungkin terjadi di balik tembok Kejari Raba Bima.
Analisis Untung-Rugi: Logika Bengkok Penegak Hukum
Sisi Kerugian (Rugi):
Kerugian Negara & Petani: Angka 2 miliar lebih bukan sekadar nominal, itu adalah hak petani jagung Bima yang dirampas. Membiarkannya berarti merestui perampokan sistemik.
Kepercayaan Publik Hancur: Marwah institusi Kejaksaan yang dibangun puluhan tahun runtuh seketika. Publik tidak lagi melihatnya sebagai penjaga, melainkan sebagai bagian dari masalah.
Preseden Buruk: Kejari sedang menulis manual untuk koruptor: “Ciptakan ‘surat sakti’, maka jaksa akan diam.”
Sisi Keuntungan (Untung):
Zona Nyaman: Tidak perlu bekerja keras, tidak perlu berkonflik dengan BUMN yang punya beking kuat. Posisi aman, tidur nyenyak.
??? (Tanda Tanya Besar): Inilah variabel yang membuat publik curiga. Apakah ada “mahar penutup mulut” yang membuat keuntungan dari diam jauh lebih besar daripada kerugian reputasi? Apakah amplop sakti telah mengalahkan supremasi hukum?
Jika seorang aktor rasional memilih diam meski kerugian publiknya begitu masif, maka logika publik yang rasional juga akan menyimpulkan bahwa keuntungan pribadi yang didapat dari sikap diam itu pastilah luar biasa besar.
Metamorfosis Kejari: Dari Pemberantas Menjadi Pendukung Korupsi?
Publik kini bertanya dengan sinisme yang memuncak: apakah Kejari Bima telah lelah dan beralih fungsi dari Aparat Pemberantasan Korupsi menjadi Aparat Pendukung Korupsi?
Dalih “surat sakti rahasia” yang diklaim Bulog adalah sebuah lelucon intelektual. Direktur LBH-PRI, Imam Muhajir, S.H., sudah menegaskan bahwa tidak ada rahasia perusahaan yang kebal hukum pidana. Penolakan Bulog menyerahkan dokumen itu adalah delik pidana menghalangi penyidikan (obstruction of justice). Seharusnya, jaksa menggebrak meja, bukan malah bersembunyi di bawahnya.
“Sikap Kejari ini bukan lagi kelalaian, ini adalah sebuah pertunjukan. Mereka sengaja melegitimasi benteng kertas Bulog dengan keheningan mereka. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanat Undang-Undang,” ujar seorang aktivis anti-korupsi.
Peringatan Keras: Jangan Main-Main dengan Uang Rakyat!
Kasus ini sudah terlalu busuk untuk didiamkan. Kejari jangan main-main dengan kasus korupsi, apalagi dengan anggaran yang diduga dikorupsi oleh mafia di Bulog Cabang Bima nilainya begitu fantastis. Ini bukan uang warisan nenek moyang mereka, ini adalah uang rakyat dan keringat petani.
Publik menuntut tindakan, bukan sandiwara:
SERET DAN PERIKSA Pimpinan Bulog Bima sekarang juga. Hentikan permainan petak umpet ini.
SITA PAKSA dokumen yang mereka sebut “surat sakti” itu. Robek selubung rahasia yang membungkus dugaan kejahatan ini.
BUKTIKAN bahwa Kejari Raba Bima masih merupakan aparat penegak hukum, bukan sekadar entitas bisnis yang menghitung untung-rugi dari setiap kasus.
Jika Kejari Raba Bima terus melanjutkan kalkulasi bisunya, maka jangan salahkan publik jika mereka mengambil kesimpulan rasionalnya sendiri: bahwa institusi ini telah memilih keuntungan pribadi di atas keadilan, dan marwah Adhyaksa telah resmi digadaikan.






































