BIMA, 20 Agustus 2025 || Kawah NTB – Alokasi anggaran fantastis sebesar Rp 1,5 miliar dari APBD Kabupaten Bima untuk merenovasi rumah pribadi Bupati Ady Mahyudi, dengan dalih disewa sebagai rumah dinas, bukanlah sekadar kebijakan ceroboh. Menurut LBH-PRI, ini adalah sebuah operasi politik yang terencana, sebuah “Catur Politik” empat langkah yang dirancang untuk membajak uang rakyat secara sistematis di bawah selubung legalitas palsu. Ady Mahyudi, sebagai Raja dalam permainan ini, dituding telah menggerakkan pion-pion kekuasaan untuk mencapai satu tujuan: memperkaya aset pribadi dengan mengorbankan kepentingan publik.
Tim LBH-PRI membongkar strategi licik yang diduga menjadi dasar dari apa yang disebutnya sebagai “kejahatan kerah putih yang paling telanjang di Bima.”
Catur Politik Empat Langkah: Membedah Skenario Perampokan Sempurna
Analisis mendalam menunjukkan bahwa lolosnya anggaran ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari manuver strategis yang mengeksploitasi celah kekuasaan.
Langkah 1: Kuda Troya “Sewa Rumah Dinas” Jebakan Legalitas Palsu
Langkah pembuka Ady Mahyudi adalah dengan menciptakan narasi “ketiadaan aset Pemda”. Dengan menyatakan tidak ada rumah dinas yang layak, pintu dibuka untuk solusi “sewa”. Namun, di sinilah jebakan dipasang. Alih-alih menerima tunjangan perumahan sesuai amanat PP No. 109 Tahun 2000, Bupati justru menjadikan dirinya sebagai penyedia jasa. Rumah pribadinya “disewakan” kepada pemerintah yang ia pimpin.
“Ini adalah langkah kuda troya yang genial sekaligus jahat”. Dengan menciptakan masalah (ketiadaan rumah dinas), ia menawarkan solusi yang menguntungkan dirinya sendiri. Aturan yang seharusnya menjadi tameng pemberian tunjangan sengaja diabaikan untuk membuka jalan bagi perampokan tahap selanjutnya.
Langkah 2: Manuver Anggaran oleh Sang Raja Menaklukkan Benteng Pertahanan DPRD
Sebagai Bupati, Ady Mahyudi adalah Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah (PKPKD) sekaligus Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Ia memegang kendali penuh atas usulan anggaran. Posisi sentral inilah yang memungkinkannya menyisipkan “anggaran siluman” sebesar Rp 1,5 miliar untuk renovasi.
Pertanyaannya, bagaimana DPRD bisa meloloskannya? “Di sinilah letak pertarungan politik yang sesungguhnya. Apakah DPRD tertidur, atau sengaja memejamkan mata? Persetujuan DPRD atas pos anggaran yang secara fundamental ilegal ini menunjukkan dua kemungkinan: kelemahan fungsi pengawasan yang parah atau adanya kongkalikong politik. Sang Raja telah berhasil menaklukkan benteng pertahanan rakyat.”
Langkah 3: Gerakan Ganda Ilegal – Bupati sebagai Penyewa dan Pemilik
Ini adalah puncak dari konflik kepentingan. Ady Mahyudi bermain dalam dua peran yang saling bertentangan secara hukum:
Sebagai Bupati: Ia adalah representasi negara (penyewa) yang menyetujui dan mengeluarkan anggaran publik.
Sebagai Pribadi: Ia adalah pemilik aset (pihak yang disewa) yang menerima keuntungan langsung dari anggaran tersebut.
Tindakan ini secara brutal melanggar serangkaian undang-undang, termasuk Pasal 5 UU No. 28 Tahun 1999 tentang KKN, Pasal 42 & 43 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan Pasal 7 Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa. “Ini adalah bentuk arogansi kekuasaan yang paling vulgar. Ia membuat kontrak dengan dirinya sendiri menggunakan uang rakyat.”
Langkah 4: Skakmat! Mengubah Uang Rakyat Menjadi Aset Pribadi
Langkah final dan paling merusak adalah eksekusi renovasi itu sendiri. Dana APBD sebesar Rp 1,5 miliar yang seharusnya digunakan untuk membangun aset milik daerah (jalan, sekolah, puskesmas) kini telah melebur menjadi kemegahan properti pribadi Ady Mahyudi.
“Inilah momen ‘Skakmat’ bagi rakyat Bima.” Aset Pemda Bima tidak bertambah sepeser pun, namun aset pribadi Bupati meroket nilainya. Ini bukan lagi sekadar penyalahgunaan wewenang, ini adalah pengalihan kekayaan negara ke kantong pribadi. Ini adalah kerugian negara yang nyata dan merupakan delik pidana korupsi berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor.
Konsekuensi Hukum: Jerat Pidana di Depan Mata
LBH-PRI menegaskan bahwa skenario catur politik ini meninggalkan jejak kejahatan yang jelas. Potensi pidana yang menjerat Bupati Ady Mahyudi sangat kuat, terutama pada:
Penyalahgunaan Kewenangan untuk Menguntungkan Diri Sendiri (Pasal 3 UU Tipikor): Setiap elemen terpenuhi jabatan, kewenangan, dan kerugian negara.
Konflik Kepentingan dalam Pengadaan (Pasal 12 huruf i UU Tipikor): Turut serta dalam proses pengadaan (penyewaan dan renovasi) yang seharusnya ia awasi.
Panggilan untuk Perlawanan Hukum
Menghadapi dugaan perampokan yang terstruktur ini, LBH-PRI menyerukan perlawanan total dari segenap elemen masyarakat dan aparat penegak hukum.
Bupati Bima Ady Mahyudi telah memainkan sebuah permainan catur yang licik dengan uang rakyat sebagai korbannya. Namun, ia lupa, dalam setiap permainan catur, seorang Raja yang gegabah bisa dijatuhkan oleh pion yang bergerak bersama.
“Kami menuntut KPK dan Kejaksaan Agung untuk segera turun tangan dan mengakhiri permainan culas ini. Uang rakyat harus kembali ke kas negara, dan pelakunya harus diseret ke pengadilan.”




















