banner 728x250

Anggota Fraksi PKB Nurdin Hancurkan Aset Negara Cederai Marwah DPRD Kabupaten Bima

BIMA, 22 Agustus 2025 || Kawah NTB – Ruang sidang paripurna DPRD Kabupaten Bima, yang seharusnya menjadi panggung terhormat bagi pertarungan gagasan dan representasi suara rakyat, hari ini ternodai oleh tindakan anarkisme brutal. Nurdin, seorang anggota dewan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), secara demonstratif telah menggadaikan nalar dan intelektualitasnya dengan amarah primitif, yang berpuncak pada perusakan sebuah meja aset yang dibeli dari uang pajak rakyat.

Insiden ini bukan sekadar ledakan emosi sesaat, melainkan sebuah deklarasi cacat moral dan intelektual yang terang-terangan. Di saat argumennya tak lagi mampu berdiri, Nurdin memilih jalan pintas kekerasan, sebuah tindakan yang secara telak mendelegitimasi posisinya sebagai wakil rakyat yang terhormat. Perbuatannya adalah preseden buruk yang meruntuhkan wibawa institusi legislatif dan mengirimkan pesan berbahaya kepada publik: bahwa di dalam gedung dewan, otot kini lebih berkuasa daripada otak.

Analisis Pelanggaran Hukum dan Etika: Tiga Dosa Fatal Nurdin

Tindakan Nurdin tidak dapat ditoleransi dari berbagai sudut pandang—hukum pidana, etika kelembagaan, dan tanggung jawab politik. Ia telah melakukan setidaknya tiga pelanggaran fatal:

Delik Pidana Perusakan Barang (Pasal 406 KUHP): Secara hukum positif, tindakan Nurdin dengan sengaja menghancurkan properti milik negara (inventaris kantor DPRD) adalah tindak pidana murni. Perbuatannya memenuhi unsur dalam Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Perusakan Barang, yang diancam dengan pidana penjara. Aparat penegak hukum memiliki dasar yang lebih dari cukup untuk memproses kasus ini tanpa memerlukan aduan, karena kerugian yang ditimbulkan bersifat materiel dan imateriel terhadap aset negara dan marwah institusi.

Pelanggaran Berat Kode Etik dan Tata Tertib Dewan: Sebagai anggota dewan, Nurdin terikat oleh Kode Etik dan Tata Tertib (Tatib) DPRD yang mewajibkan setiap anggota untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan citra lembaga. Dengan mempertontonkan perilaku barbar, ia telah secara terang-terangan menginjak-injak prinsip-prinsip tersebut. Badan Kehormatan Dewan (BKD) DPRD Kabupaten Bima tidak punya pilihan lain selain memproses pelanggaran berat ini. Sanksi ringan tidak akan cukup; tindakan ini menuntut sanksi maksimal untuk memulihkan kepercayaan publik yang telah terkoyak.

Pengkhianatan Mandat Publik: Rakyat Bima tidak memilih seorang preman untuk duduk di kursi legislatif. Mereka memilih seorang perwakilan yang diharapkan mampu berpikir, berdebat secara sehat, dan memperjuangkan aspirasi melalui jalur yang beradab. Dengan mengandalkan kekerasan fisik, Nurdin telah mengkhianati mandat tersebut. Ia telah membuktikan dirinya tidak layak menyandang gelar “Yang Terhormat” dan gagal total dalam menjalankan fungsi representasi. Ia bukan lagi Dewan Perwakilan Rakyat, melainkan manifestasi dari ‘Dewan Perusak Rakyat’.

PKB di Titik Nadir: Amputasi Oknum atau Membiarkan Partai Membusuk?

Kini, sorotan tajam mengarah kepada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kendaraan politik yang mengantarkan Nurdin ke parlemen. Respons PKB terhadap insiden memalukan ini akan menjadi cerminan sejati dari kualitas dan integritas partai. Diam atau sekadar memberikan teguran lisan sama artinya dengan merestui premanisme politik.

Publik menantikan satu-satunya langkah yang logis dan bermartabat: pemecatan dan proses Pergantian Antar Waktu (PAW) terhadap Nurdin. Ini bukan lagi soal pembinaan kader, melainkan soal penyelamatan kehormatan partai dan institusi demokrasi. Mempertahankan kader yang menjadikan ruang sidang sebagai ring tinju adalah sebuah bunuh diri politik. PKB harus membuktikan bahwa mereka adalah partai yang menjunjung tinggi supremasi akal sehat, bukan kekuatan otot.

Kasus Nurdin adalah litmus test bagi demokrasi di Bima. Jika tindakan sebarbar ini dibiarkan tanpa konsekuensi hukum dan politik yang tegas, maka kita sedang menormalisasi kebiadaban di dalam lembaga terhormat. Individu seperti Nurdin tidak hanya mencoreng nama partainya, tetapi juga meracuni fondasi demokrasi. Ia tidak pantas lagi duduk di kursi yang seharusnya diisi oleh para pemikir dan negarawan, bukan perusak.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *