BIMA, 23 Agustus 2025 || Kawah NTB – Ruang sidang paripurna DPRD Bima tidak hanya menyaksikan hancurnya sebuah meja, tetapi juga menjadi saksi sebuah momen tragis dari potensi manusia yang gagal terwujud. Tindakan Nurdin dari Fraksi PKB, ketika dianalisis lebih dalam, melampaui sekadar isu disiplin atau perusakan aset. Ini adalah studi kasus tentang disorientasi kemanusiaan, di mana seorang individu yang dipercaya untuk mencapai level tertinggi dari aktualisasi diri sebagai negarawan, justru memilih untuk regresi ke respons paling dasar: agresi.
Dari kacamata psikologi humanis, setiap individu memiliki dorongan bawaan untuk bertumbuh, menjadi versi terbaik dari dirinya, dan menggunakan potensinya secara penuh. Jabatan seorang wakil rakyat, sejatinya, adalah salah satu arena paling ideal untuk aktualisasi diri tersebut sebuah panggung untuk mengubah empati menjadi kebijakan, dialog menjadi solusi, dan kebijaksanaan menjadi kemaslahatan. Apa yang dilakukan Nurdin adalah sebuah pengkhianatan, bukan hanya pada rakyat, tetapi pada potensi luhur dalam dirinya sendiri.
Potensi yang Terkhianati: Saat Manusia Gagal Melampaui Impulsnya
Seorang anggota dewan dipilih bukan karena kekuatan ototnya, melainkan karena harapan bahwa ia telah berevolusi melampaui penyelesaian masalah secara impulsif. Ia diharapkan menjadi manifestasi dari akal budi, kesabaran, dan kapasitas untuk mendengar kemampuan-kemampuan yang berada di puncak piramida kebutuhan Maslow, yakni aktualisasi diri.
Tindakan Nurdin menghancurkan meja adalah sebuah pilihan sadar untuk menolak potensi tersebut. Ia menolak untuk menjadi pendengar yang berempati, seorang negosiator yang ulung, atau seorang pemikir yang solutif. Pada saat itu, ia memilih menjadi perwujudan dari frustrasi yang tak terkelola. Ini bukan lagi soal politik, ini adalah soal kemanusiaan. Ketika diberi pilihan antara menjadi jembatan (membangun dialog) atau menjadi palu (menghancurkan), ia memilih menjadi palu. Ini adalah sebuah tragedi personal yang sayangnya dipertontonkan di panggung publik, mencerminkan sebuah kekosongan dalam pemenuhan dirinya sebagai insan yang utuh.
Pilihan, Tanggung Jawab, dan Jalan Menuju Keutuhan Diri
Psikologi humanis menekankan kekuatan pilihan dan tanggung jawab personal. Saat ini, Tuan Nurdin, Anda berada di persimpangan jalan paling krusial dalam perjalanan Anda, bukan hanya sebagai politisi, tetapi sebagai manusia. Mempertahankan jabatan dengan dalih apapun setelah insiden ini adalah bentuk pelarian dari tanggung jawab. Itu adalah upaya untuk menyangkal bahwa sebuah pilihan destruktif telah dibuat.
Jalan menuju pemulihan integritas diri bukanlah dengan menyangkal, melainkan dengan menerima dan bertanggung jawab. Pilihan untuk mundur secara terhormat bukanlah sebuah kekalahan. Sebaliknya, itu adalah tindakan pertama menuju keutuhan. Itu adalah sebuah pernyataan kuat bahwa Anda mengakui telah terjadi disonansi antara tindakan Anda dan esensi dari jabatan yang Anda emban. Mundur adalah cara Anda untuk mengatakan: “Saya menyadari bahwa tindakan saya tidak mencerminkan versi terbaik dari diri saya dan tidak layak untuk institusi ini. Saya memilih bertanggung jawab untuk memulai proses menjadi lebih baik.”
Rakyat Bima tidak membutuhkan wakil yang sempurna, tetapi mereka berhak mendapatkan wakil yang terus berjuang menuju versi terbaik dari dirinya, bukan yang menyerah pada impuls terburuknya.
Menyembuhkan Luka Institusi: Tanggung Jawab Kolektif
Tindakan Nurdin telah menciptakan luka psikologis pada institusi DPRD. Ia merusak “rasa aman” dalam sebuah ekosistem yang seharusnya menjadi tempat paling aman untuk perbedaan pendapat. Kini, menjadi tugas kolektif, terutama bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), untuk memulai proses penyembuhan.
Membiarkan Nurdin tetap di posisinya sama saja dengan membiarkan luka institusional ini menjadi borok. Tindakan tegas melalui proses PAW bukan semata-mata hukuman, melainkan sebuah terapi kelembagaan. Ini adalah sinyal bahwa institusi ini secara sadar memilih kesehatan psikologis, pertumbuhan, dan aktualisasi gagasan di atas perlindungan ego individu yang telah terbukti gagal dalam mengelola dirinya sendiri.
Pada akhirnya, ultimatum untuk Nurdin bukanlah sekadar desakan politis, melainkan sebuah ajakan humanis: pilihlah untuk bertumbuh dari kesalahan ini. Dan pertumbuhan itu dimulai dengan satu langkah besar yang teramat penting mengambil tanggung jawab penuh dengan melepaskan jabatan yang esensinya telah Anda ciderai. Itulah satu-satunya jalan terhormat yang tersisa.




















