BIMA, 8 September 2025 || Kawah NTB – Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bima di bawah kepemimpinan Walikota H. A. Rahman H. Abidin, SE, dan Wakil Walikota Feri Sofiyan, SH, yang melakukan penggusuran paksa terhadap para Pedagang Kaki Lima (PKL) pada 2-3 Mei 2025 lalu menuai kecaman tajam. Tindakan ini dinilai sebagai kebijakan yang represif dan tidak peka terhadap kondisi krisis ekonomi serta minimnya lapangan pekerjaan yang tengah mendera masyarakat.
Saronggi D’raja (9/8/2025), selaku kader dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Kota Bima, menyatakan bahwa tindakan penertiban tersebut merupakan cerminan dari kegagalan pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.
Penggusuran yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat adalah bentuk pengabaian terhadap hak-hak dasar warga negara. Di tengah kesulitan ekonomi, pemerintah seharusnya hadir sebagai pelindung dan fasilitator, bukan sebagai eksekutor yang merampas satu-satunya sumber penghidupan warganya, tegas Saronggi.
Menurut analisis Saronggi, kebijakan ini mengandung sejumlah pelanggaran fundamental. Pertama, dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), penggusuran ini melanggar hak atas pekerjaan dan hak atas penghidupan yang layak. Pemerintah dinilai gagal memenuhi kewajibannya untuk memastikan kesejahteraan warganya, terutama kelompok rentan seperti PKL.
Tindakan penertiban yang hanya didahului surat peringatan administratif tanpa adanya upaya dialog yang substantif adalah bentuk arogansi kekuasaan, lanjutnya. Para pedagang bukanlah objek, melainkan subjek hukum yang memiliki hak untuk didengar dan diajak mencari solusi bersama. Mereka adalah bagian integral dari masyarakat yang berhak atas ruang hidup dan perlindungan.
Kedua, LMND menyoroti adanya diskriminasi dan inkonsistensi dalam penegakan hukum. Saronggi D’raja mengkritik tajam standar ganda yang dipertontonkan oleh Pemerintah Kota Bima. Hukum seolah hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Kami menyaksikan dengan jelas bagaimana hukum hanya ditegakkan secara tegas kepada para PKL yang lemah. Sementara itu, banyak bangunan liar di bantaran sungai, rumah toko (ruko) yang terang-terangan menyalahi izin mendirikan bangunan, serta bangunan permanen di atas fasilitas umum justru dibiarkan tak tersentuh. Ini adalah potret ketidakadilan struktural yang sangat miris, ungkap Saronggi.
Ketiga, LMND menilai pemerintah telah gagal total dalam menyediakan solusi konkret. Hingga saat ini, nasib para pedagang yang menjadi korban penggusuran masih terkatung-katung tanpa ada kejelasan. Janji penyediaan tempat berdagang yang layak serta dukungan modal hanya menjadi wacana kosong.
Sebagai respons atas kebijakan tersebut, LMND Kota Bima telah menggelar aksi demonstrasi pada 7 Mei 2025 dan berhasil melakukan audiensi dengan Wakil Walikota Bima, Feri Sofiyan, SH. Namun, pertemuan tersebut belum membuahkan hasil yang memuaskan bagi para pedagang.
Hingga detik ini, belum ada titik terang mengenai solusi bagi para pedagang. Pemerintah seakan lepas tangan setelah melakukan eksekusi. Ini menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak didasari oleh perencanaan yang matang dan humanis, melainkan hanya berorientasi pada ketertiban versi elitis yang mengorbankan nasib rakyat kecil, tutup Saronggi.
LMND Kota Bima berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini dan menuntut Walikota H. A. Rahman H. Abidin, SE untuk bertanggung jawab secara moral dan kebijakan, serta segera merealisasikan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi para pedagang kaki lima di Kota Bima.



							
















