Wajah Demokrasi Rasa Feodalisme di Pesta Anak Bupati Bima

BIMA, 28 September 2025 || Kawah NTB – Di Lapangan Manggemaci, senja baru saja merayap. Di balik panggung bahagia pernikahan putra mahkota Bupati Bima Ady Mahyudi, Aditya, dengan Lila, seorang anggota DPRD Kabupaten Bima, sebuah pertunjukan yang jauh lebih besar dari sekadar resepsi sedang mencapai klimaksnya. Ini bukan lagi pesta, ini adalah laboratorium telanjang dari moralitas politik seorang pemimpin. Hari ini, Bupati Ady Mahyudi, secara sadar atau tidak, sedang menggunakan hari bahagia keluarganya untuk mengajar rakyatnya tentang hierarki dan jarak kekuasaan.

Mari kita perjelas satu hal mendasar, kritik ini tidak menyasar Ady Mahyudi sebagai seorang ayah yang menikahkan putranya. Itu adalah hak dan kebahagiaan pribadinya yang tidak boleh diganggu gugat. Namun, acara ini tidak digelar di ruang hampa. Ia digelar di panggung kekuasaan, menggunakan pengaruh dan simbol-simbol jabatan. Ady Mahyudi yang hadir di sana adalah Bupati Bima, pemimpin nomor satu di Kabupaten Bima yang setiap tindakannya menjadi teladan dan pesannya dibaca oleh seluruh masyarakat. Karena itu, tindakannya harus diukur dengan standar etika kepemimpinan publik, bukan sekadar etika keluarga. Dan dari standar itulah, sebuah kegagalan fatal sedang dipertontonkan.

Pemandangan sore ini di Manggemaci adalah sebuah ironi yang menusuk. Sesi untuk masyarakat umum, undangan siang, sebentar lagi akan berakhir. Warga biasa yang tulus datang memberikan doa kini mulai meninggalkan sedikit-sedikit meninggalkan lokasi. Seiring kepergian mereka, sebuah transformasi sedang terjadi. Sebentar lagi kita akan mencium aroma parfum mahal dari para tamu VVIP yang mulai berdatangan seolah menggantikan aroma keringat rakyat. Panggung yang tadinya diisi oleh wajah-wajah tulus dari berbagai pelosok desa, kini sedang disiapkan untuk babak utama perjamuan eksklusif bagi para pejabat, pengusaha, dan lingkaran elite kekuasaan.

Ini adalah momen paling krusial. Di titik transisi antara siang dan malam inilah, Bupati Bima secara visual sedang menarik garis demarkasi. Ia seolah berkata, “Terima kasih atas suaramu di siang hari, tapi malam hari adalah milik kami lingkaran elit bukan lingkaran rakyat jelata.”

Untuk memahami betapa dalamnya luka yang ditimbulkan sore ini, kita perlu mengingat kembali Ady Mahyudi di masa lalu sebagai mantan pengemis suara. Masyarakat Kabupaten Bima adalah ibu yang melahirkannya secara politik. Namun, apa yang sedang kita saksikan senja ini adalah sebuah adegan durhaka politik dari sang legenda Maling Kundang versi modern. Sang anak, yang kini sukses, tampak enggan mengakui ibunya di hadapan teman-teman barunya yang terhormat.

Masyarakat Kabupaten Bima kini dipaksa mengingat kembali janji manis saat kampanye dulu. Semboyan yang didengungkan oleh Bupati Bima Ady Mahyudi di seluruh penjuru adalah Bima Bermartabat sebuah janji tentang kehormatan, kesetaraan, dan kepemimpinan yang memanusiakan. Namun, pemandangan senja ini, dengan sekat kastanya yang begitu telanjang, melahirkan sebuah pertanyaan sinis di benak rakyat.

Jangan-jangan, janji itu salah dengar. Yang dijanjikan bukanlah Bima Bermartabat, melainkan Bima Bermartabak dimana kehormatan itu bisa diiris-iris, dibagi-bagi dalam porsi eksklusif untuk kalangan tertentu, sementara rakyat hanya menonton sambil mengeluarkan air liurnya.

Seiring gelap yang perlahan datang, Bima tidak sedang merayakan persatuan. Bima sedang dipaksa menonton pemimpinnya memilih lingkaran elite-nya, meninggalkan rakyat yang melahirkannya dalam remang-remang senja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *