BIMA, 3 November 2025 || Kawah NTB – Isu panas dugaan praktik jual beli jabatan di lingkup Pemerintah Kota Bima kini mencuat tajam ke permukaan. Tak tanggung-tanggung, posisi strategis terendah sekelas Kepala Kelurahan (Lurah) di Jatibaru Timur diduga dibanderol dengan “mahar” senilai Rp 45 juta.
Informasi ini pertama kali dihembuskan oleh Advokat Bima, Bung Nurkrah, yang menuding adanya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terstruktur.
Menurut Nurkrah, praktik lancung ini dilakukan melalui “jalur lobi tim sukses (timses)” yang diduga melibatkan figur orang dalam.
“Jabatan terendah… berani bandrol 45 juta,” tegas Nurkrah dalam pernyataan resminya. Ia bahkan menantang Timses Jatibaru Timur untuk buka suara agar alur uang haram tersebut menjadi terang benderang.
Puncak dari kegeraman publik, menurutnya, adalah aksi penyegelan Kantor Lurah Jatibaru Timur oleh warga sebagai bentuk protes terhadap masalah ini.
Informasi tambahan yang berhasil dihimpun menyebutkan, dugaan transaksi Rp 45 juta itu diduga kuat dilakukan melalui keluarga dekat Walikota Bima. Sebuah inisial A, yang disebut-sebut sebagai adik kandung Walikota, diduga menjadi perantara.
Uang tersebut, kabarnya, berfungsi sebagai pelicin agar Pelaksana Tugas (PLT) Lurah Jatibaru Timur saat ini dapat naik status menjadi pejabat definitif.
“Fix no debat, pengakuan PLT Lurah Jatibaru Timur itu lewat Adik kandung walikota Bima,” ungkap Nurkrah, mengunci tudingannya.
Menghadapi badai tudingan ini, Walikota Bima, H.A. Rahman, memberikan bantahan keras. Ia menantang balik Nurkrah untuk membuktikan tudingannya di ranah hukum.
“Dia tantang pengacara yang sebarin fitnah itu, lapor ke polisi kalau berani,” ujar Walikota Bima.
H.A. Rahman juga memberikan jaminan penuh atas pemerintahannya. “Ndak ada, rotasi mutasi di kota ndak ada mahar. saya jamin. Itu semua fitnah,” tegasnya.
Namun, pernyataan Walikota Bima ini menuai kritik tajam karena dinilai defensif dan tidak menyentuh substansi persoalan.
Pertama, jaminan Walikota terasa hampa. Publik menilai jawaban Walikota sangat klasik. Bagaimana mungkin seorang Walikota berani menjamin tidak ada mahar, sementara dugaan pelaku utamanya justru orang terdekat atau lingkaran dalam Walikota sendiri? Jaminan itu seketika kehilangan kredibilitasnya jika terbukti transaksi dilakukan oleh orang sekitarnya.
Kedua, tantangan lapor polisi adalah ‘cuci tangan’. Melempar bola panas ke pelapor dengan menantang lapor polisi adalah strategi usang untuk meredam isu. Dalam banyak kasus KKN, pembuktian praktik mahar jabatan sangat sulit dilakukan. Transaksi semacam ini bersifat rahasia, di bawah tangan, dan sering kali atas dasar “suka sama suka” antara pemberi dan penerima. Tantangan ini alih-alih menunjukkan transparansi, justru terkesan sebagai upaya ‘cuci tangan’ dari tanggung jawab moral dan politik.
Ketiga, pernyataan kinerja baik adalah defleksi. Walikota Bima juga sempat melontarkan, “Knp copot kalau kinerja nya baik.” Pernyataan ini jelas sebuah defleksi atau pengalihan isu. Substansi masalah yang diangkat Nurkrah dan warga bukanlah soal kinerja PLT Lurah, melainkan dugaan proses transaksional untuk mendapatkan jabatan tersebut. Kinerja yang baik tidak dapat melegitimasi proses yang korup.
Publik kini menanti langkah konkret. Apakah tudingan Nurkrah hanya gertak sambal, atau akankah Walikota Bima berani melakukan investigasi internal terhadap ‘orang dekat’ yang namanya terseret dalam pusaran dugaan mahar jabatan ini? Kasus ini telah menjadi pertaruhan besar atas kredibilitas dan komitmen anti-KKN pemerintahan H.A. Rahman.




















