Bima, 14 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Desakan masyarakat Kecamatan Lambitu terhadap instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Bima terkait kerusakan parah infrastruktur jalan bukan sekadar keluhan teknis. Bagi Bung Ipul, pakar ilmu politik yang dikenal lugas dan progresif, hal ini adalah cerminan rusaknya dinamika formulasi kebijakan publik di Bima.
“Apa yang terjadi di Lambitu bukan keterlambatan pembangunan, tapi keterlambatan berpikir dalam pemerintahan,” tegas Bung Ipul.
Dalam kajian Bung Ipul, tuntutan perbaikan jalan harus dilihat sebagai bentuk politik sektoral yang menyentuh langsung kewajiban aktor kelembagaan negara, di antaranya:
-Bupati Bima sebagai pengarah utama kebijakan, penentu RKPD dan APBD, serta penanggung jawab politik atas prioritas pembangunan;
-BAPPEDA Kabupaten Bima, yang seharusnya memegang peran strategis dalam perencanaan lintas sektor dan pengusulan anggaran berbasis kebutuhan riil masyarakat;
-DPRD Kabupaten Bima, sebagai institusi pengesahan dan pengawasan terhadap keadilan alokasi anggaran pembangunan;
-Dinas PUPR Kabupaten Bima, sebagai pelaksana teknis, pengkaji kondisi lapangan, dan penyusun perencanaan perbaikan jalan.
Namun, hingga pertengahan Juli 2025, keempat aktor kunci tersebut tampak belum mampu merespons tuntutan masyarakat Lambitu dengan tindakan nyata.
“Jika semua lembaga sibuk menyusun dokumen tetapi tak satu pun turun ke jalan berlubang, maka demokrasi kita sudah terpeleset di aspal yang rusak,” sindir Bung Ipul.
Menurut Bung Ipul, jalan bukan hanya penghubung wilayah, tapi penghubung nasib. Infrastruktur yang rusak di Lambitu telah menghambat akses pendidikan, layanan kesehatan, dan ekonomi lokal.
-Tragedi kematian dua bayi kembar tahun 2024 akibat kegagalan akses medis jadi bukti nyata bahwa kerusakan jalan bukan sekadar risiko teknis, tapi pelanggaran hak hidup;
-Mobil angkut hasil pertanian warga Lambitu sering mengalami kejatuhan muatan, mengakibatkan kerugian produksi dan gangguan distribusi ekonomi yang berulang;
-Harga barang kebutuhan meningkat karena mahalnya biaya logistik yang ditanggung masyarakat, bukan pemerintah.
“Kerusakan jalan itu bukan hanya soal fisik, itu luka ekonomi dan luka sosial yang terus dibuka setiap kali roda kendaraan melindas batu dan lubang,” tambah Bung Ipul.
Tuntutan masyarakat Lambitu, menurut Bung Ipul, merupakan indikator kuat bahwa Pemerintah Daerah Bima telah gagal menghadirkan pemerintahan yang mendengar. Ia menyarankan agar momen ini dijadikan langkah introspektif menyeluruh untuk:
-Memformulasikan kebijakan publik secara inklusif dan berbasis realitas;
-Memastikan bahwa belasan tahun keterlantaran Lambitu tidak menjadi warisan diam dalam politik pembangunan;
-Menghadirkan perbaikan jalan sebagai simbol peralihan dari retorika ke kerja nyata.
“Jika suara Lambitu terus dipinggirkan, maka bukan hanya jalan yang rusak tapi legitimasi kepemimpinan daerah ikut longsor,” tutup Bung Ipul.
Kerusakan jalan di Lambitu adalah alarm sistemik, bukan hanya ketidaktepatan teknis. Ia membuka pertanyaan besar: apakah Pemerintah Daerah masih menjadikan aspirasi rakyat sebagai titik awal formulasi kebijakan? Jika tidak, maka rakyat Lambitu berhak menggugat, karena hak atas jalan adalah hak atas kehidupan.



							
















