Bima, 14 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Dari dataran sunyi Lambitu, suara rakyat mulai membentuk gelombang. Pada tanggal 13 Juli, para pemuda Kecamatan Lambitu, didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI), menyusun barisan perlawanan konstitusional melalui sebuah konsolidasi strategis. Konsolidasi ini tidak dilakukan dalam aula mewah, tetapi lahir dari tekad yang tertanam dalam tanah berbatu: bahwa perbaikan jalan bukan sekadar proyek pembangunan, tetapi pertarungan atas hak dasar manusia yang selama ini dilupakan dalam agenda politik Kabupaten Bima.
Pertemuan tersebut melahirkan semangat kolektif yang matang secara taktis dan bernas secara hukum. Para peserta sepakat bahwa perjuangan jalan Lambitu harus ditempuh bukan hanya melalui narasi aspiratif, melainkan lewat jalur kelembagaan formal yang menggugat tanggung jawab struktural negara. Dengan penuh ketelitian, mereka menyusun jalur audiensi kepada Dinas PUPR, BAPPEDA, Bupati dan Wakil Bupati Bima, hingga ke meja legislatif DPRD Kabupaten Bima. Gerakan ini tidak lahir untuk menyapa, tetapi untuk menantang: sejauh mana pemerintah bersedia mendengarkan suara yang tidak keluar dari mikrofon, tetapi dari lubang-lubang jalan yang menelan nyawa, harapan, dan masa depan masyarakat Lambitu.
Menurut LBHPRI, perjuangan ini dilandasi oleh kerangka hukum yang jelas. Bahwa negara, dalam sistem otonomi daerah, wajib menjamin hak-hak dasar seperti akses mobilitas, layanan kesehatan dan distribusi ekonomi melalui kebijakan pembangunan yang adil dan tepat sasaran. Jalan rusak yang bertahan selama dua dekade adalah bukti bahwa Pemerintah Kabupaten Bima telah kehilangan kompas konstitusionalnya. Apalagi ketika fakta telah mencatat tragedi kematian dua bayi kembar karena ambulans tak dapat melintasi jalan yang penuh batu dan lumpur, dan ketika hasil pertanian warga hancur di jalur distribusi karena muatan terguling di badan jalan yang bergelombang. Semua ini bukan kecelakaan, tapi konsekuensi dari kelalaian struktural yang terukur dan dapat digugat.
Dalam konsolidasi tersebut, para pemuda Lambitu dan LBHPRI juga menyepakati bahwa jika audiensi tidak direspons secara serius, maka langkah-langkah alternatif akan ditempuh. Tidak dengan amarah, tapi dengan prosedur hukum yang tegas. Mereka membuka opsi litigasi melalui gugatan administrasi dan mendesain kampanye terbuka agar rakyat Bima tahu: bahwa jalan rusak bukan hanya milik Lambitu, tapi potensi luka kolektif seluruh daerah yang menunggu giliran dilupakan.
Gerakan ini tidak dibentuk untuk menjadi simbol. Ia lahir sebagai peringatan: bahwa keadilan pembangunan bukanlah milik baliho, tetapi milik rakyat yang berjalan puluhan kilometer di atas kerikil, tanpa jaminan, tanpa janji, dan tanpa negara. Dan kini, melalui konsolidasi ini, para pemuda Lambitu tidak hanya menuntut aspal mereka menuntut kewarasan pemerintahan.
Jika Pemerintah Kabupaten Bima masih bersikukuh dengan slogan “Bima Bermartabat,” maka Lambitu akan menjadi ujian pertamanya. Karena martabat tidak diuji lewat pidato, tetapi lewat keberanian untuk memperbaiki jalan sebelum suara rakyat menjelma menjadi gelombang yang tidak bisa lagi diabaikan.



							
















