banner 728x250

Kerusakan Jalan Lambitu Hampir 20 Tahun: Sebuah Cermin Kegagalan Politik Yang Sengaja Dibiarkan Terlantar

Bima, 17 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Selama hampir dua dekade, masyarakat Kecamatan Lambitu hidup dalam keterasingan infrastruktur. Jalanan yang seharusnya menjadi urat nadi kehidupan, justru berubah menjadi kubangan lumpur, bebatuan tajam, dan lubang menganga yang tak hanya menghambat, tapi juga mengancam keselamatan. Ini bukan lagi soal kelalaian, melainkan sebuah pembiaran sistematis yang sengaja menenggelamkan Lambitu dalam lumpur keterisolasian.

Dua Dekade Terabaikan: Luka Lambitu yang Tak Kunjung Sembuh

Bayangkan, selama 20 tahun dua dasawarsa penuh akses utama bagi enam desa di Lambitu dibiarkan hancur. Ini berarti satu generasi telah tumbuh dewasa, bersekolah, dan berjuang mencari nafkah dengan melewati rintangan fisik yang seharusnya sudah menjadi tanggung jawab negara. Anak-anak kesulitan mencapai sekolah, hasil pertanian terhambat distribusinya, dan yang paling krusial, akses layanan kesehatan darurat seringkali terputus. Jalanan Lambitu bukan sekadar rusak; ia adalah simbol nyata dari pengabaian hak-hak dasar masyarakat yang seolah tak dianggap penting.

Yang lebih menyakitkan adalah bagaimana penderitaan Lambitu ini dipermainkan dengan janji-janji kosong yang berulang. Pada musim kampanye 2025, jalan Lambitu menjadi komoditas politik yang diobral para calon. Kemudian, saat Safari Ramadan di Desa Kuta, janji itu diulang kembali, seolah memohon kepercayaan di momen sakral. Puncaknya, di forum “Selasa Menyapa” pada Juni 2025, Bupati Bima sendiri dan Dinas PUPR bahkan menjamin alokasi Rp2,5 miliar untuk pengaspalan.

Namun, di pertengahan Juli 2025 ini, semua itu hanya menjadi ilusi. Tak ada satu pun aspal yang terhampar, tak ada satu pun alat berat yang bekerja. Janji-janji lisan yang bergentayangan itu kini tak lebih dari bualan, menambah panjang daftar kekecewaan yang telah menumpuk selama dua puluh tahun. Ini bukan lagi sekadar lambatnya birokrasi, melainkan indikasi kuat adanya kesengajaan untuk tidak memprioritaskan Lambitu, meskipun anggaran dan janji telah berkali-kali dilontarkan.

 

Mengapa Lambitu Dibiarkan Lumpuh?

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Mengapa Lambitu seolah dikucilkan dari peta pembangunan? Apakah karena jumlah penduduknya yang “terlalu kecil” untuk menjadi lumbung suara signifikan? Ataukah kondisi geografisnya yang menantang sengaja dijadikan dalih untuk pembiaran? Kawah NTB melihat ini sebagai cerminan cacat logika politik di tingkat daerah, di mana kebutuhan rakyat diukur berdasarkan potensi elektoral, bukan nilai kemanusiaan atau hak konstitusional.

Kerusakan parah jalan Lambitu selama 20 tahun ini bukan akibat bencana alam, melainkan dampak dari kebijakan abai dan janji palsu yang terus-menerus diulang. Setiap lubang di jalanan Lambitu adalah saksi bisu kegagalan negara dalam melindungi dan melayani warganya. Sampai kapan penderitaan ini akan terus dibiarkan? Haruskah masyarakat Lambitu menunggu dua dekade lagi untuk merasakan sentuhan aspal?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *