Bima, 17 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Melihat persoalan jalan Lambitu dari kacamata analisis ekonomi hukum Richard A. Posner, kita menemukan sebuah kezaliman yang terselubung rapi di balik dalih “efisiensi”. Bagi Posner, hukum dan kebijakan harus diarahkan pada maksimalisasi kesejahteraan sosial (wealth maximization), di mana sumber daya dialokasikan sedemikian rupa untuk menciptakan nilai ekonomi tertinggi. Namun, apa yang terjadi di Lambitu justru paradoks: pengabaian investasi infrastruktur adalah sebuah keputusan yang sangat tidak efisien secara ekonomi, baik bagi masyarakat Lambitu maupun Kabupaten Bima secara keseluruhan.
Pertimbangkan ini:
Biaya Sosial yang Tersembunyi (Hidden Social Costs): Pemerintah mungkin merasa “hemat” dengan tidak mengaspal jalan Lambitu. Namun, biaya riil yang ditanggung masyarakat jauh lebih besar. Anak-anak kesulitan ke sekolah, menyebabkan penurunan kualitas SDM masa depan. Hasil pertanian membusuk atau harganya jatuh karena biaya logistik tinggi dan akses pasar terbatas, menggerus potensi ekonomi lokal. Penurunan kesehatan dan bahkan kematian akibat akses layanan medis yang terhambat adalah kerugian tak terhingga yang tidak tercatat dalam neraca keuangan daerah. Dari perspektif Posner, biaya-biaya eksternalitas negatif ini seharusnya diinternalisasi dalam perhitungan kebijakan, bukan diabaikan.
Hilangnya Potensi Produktivitas (Lost Productivity): Jalan yang buruk secara langsung menurunkan produktivitas. Waktu dan tenaga yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi produktif, habis di jalanan yang rusak. Kendaraan cepat rusak, menambah beban biaya operasional bagi warga. Ini adalah inefisiensi alokasi sumber daya yang masif. Investasi Rp2,5 miliar mungkin terlihat besar, namun kerugian ekonomi kumulatif selama 20 tahun akibat jalan rusak di Lambitu kemungkinan jauh melampaui angka tersebut.
Asimetri Informasi dan Kekuatan Politik (Information Asymmetry & Political Power): Dalam teori ekonomi hukum, informasi yang sempurna sangat penting untuk alokasi sumber daya yang efisien. Di kasus Lambitu, pemerintah mungkin memiliki informasi “politik” bahwa suara mereka kecil dan tidak strategis, sehingga mengabaikan kebutuhan riil. Ini adalah penyalahgunaan kekuatan politik yang mengarah pada distorsi pasar (distorsi alokasi sumber daya) dan kegagalan pasar (market failure) dalam menyediakan barang publik esensial. Mereka yang “tidak punya daya tawar” secara elektoral, secara ekonomi dianggap “tidak penting”. Ini adalah aplikasi terbalik dari prinsip Posner, di mana kepentingan mayoritas elektoral mengalahkan maksimalisasi kesejahteraan sosial secara riil.
Singkatnya, pembiaran jalan Lambitu selama 20 tahun adalah sebuah keputusan irasional dari sudut pandang ekonomi hukum. Ini bukan efisiensi, melainkan diskriminasi terselubung yang menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial yang masif, semua demi kalkulasi politik sesaat. Kawah NTB menyerukan agar Pemerintah Kabupaten Bima berhenti bersandiwara dengan janji dan mulai melihat Lambitu sebagai investasi strategis untuk kesejahteraan seluruh Bima. Sampai kapan harga keadilan akan dibayar dengan lumpur dan air mata di tanah Lambitu?




















