banner 728x250

Dianggap Anak Haram Pembangunan: Jalan Rusak Lambitu Dibiarkan Menjadi Lubang Untuk Korban Yang Siap Berjatuhan

Bima, 18 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Lambitu bukan sekadar wilayah administratif. Ia adalah tubuh yang terus digerus oleh amnesia birokrasi dan kebijakan diskriminatif. Foto jalan yang rusak parah itu bukan rekayasa; itu adalah wajah nyata dari 20 tahun penelantaran. Aspal yang terkelupas, lubang yang menganga, dan tanah yang erosi semuanya adalah bukti bahwa Bupati Bima dan DPRD Kabupaten Bima telah memelihara pembiaran sebagai tradisi.

Tidak ada dalih lagi. Jalan di Lambitu rusak bukan karena anggaran kurang, tapi karena kemauan politik yang minus. Anggaran selalu ada, tapi jarang sekali diarahkan untuk memulihkan daerah yang sengaja dikerdilkan. Lambitu diperlakukan seolah tidak punya masa depan. Seolah tak cukup layak untuk masuk daftar prioritas pembangunan.

Di ruang sidang DPRD, nama Lambitu nyaris tak pernah disebut kecuali saat bicara statistik penduduk atau alokasi sisa anggaran. Bahkan warga setempat menyebut, “Anggaran yang masuk Lambitu adalah anggaran yang sudah basi. Yang lain sudah kenyang, baru Lambitu dikasih sisa.”

Ini bukan sekadar soal jalan. Ini tentang bagaimana satu daerah secara sistematis dicabut haknya atas kesetaraan pembangunan. Bupati Bima dan DPRD telah menjadikan Lambitu sebagai anak haram diakui di atas kertas, tapi ditolak dalam tindakan.

Puluhan tahun masyarakat berjalan di atas luka, mengantar anak sekolah di atas risiko, membawa pasien dengan guncangan maut, dan menunggu bantuan yang tak kunjung datang. Dari tahun ke tahun, proposal perbaikan hanyalah ritual penghibur.

Warga Lambitu tidak lagi menunggu dari balik jendela kantor camat. Mereka bangkit, bersuara, dan menolak dibungkam. Jalan rusak bukan kutukan alam, tapi kelalaian kekuasaan. Jika DPRD dan Bupati Bima terus menutup mata, maka mereka tak layak lagi disebut wakil rakyat karena rakyat Lambitu sudah lama tak diwakili.

Sudah terlalu lama Lambitu dikenang hanya dalam pidato seremonial, tapi dilupakan dalam perencanaan anggaran. Jalan-jalan yang seharusnya menjadi urat nadi kehidupan kini menjelma menjadi rintangan maut: menghentikan ambulan, menunda pendidikan, memperlambat ekonomi. Bupati Bima dan DPRD terus bicara soal pembangunan inklusif, tapi realitas Lambitu membuktikan: inklusi mereka bersyarat, dan Lambitu gagal memenuhi syarat politis.

Selama dua dekade, pemerintah kabupaten mengelola pembiaran sebagai program tetap. Lambitu menjadi studi kasus tentang bagaimana negara bisa hadir, tapi memilih untuk absen. Bahkan ketika masyarakat bersuara, pemerintah hanya menjawab dengan kunjungan instan dan selfie berseragam. Di balik senyum birokrasi, terdapat wajah dingin dari pengabaian struktural.

Tidak ada rencana strategis. Tidak ada alokasi prioritas. Tidak ada jawaban jujur. Yang ada hanyalah retorika dan dokumen RPJMD yang tak pernah menyentuh tanah Lambitu.

Warga Lambitu menyerukan pembalikan arah. Daerah yang selama ini dibungkam harus menjadi pusat sorotan. Jalan rusak bukan urusan teknis itu adalah indikator etis bahwa pemerintah gagal menjalankan mandat konstitusi. Rakyat Lambitu tidak meminta belas kasih, mereka menuntut pemulihan martabat.

Jika DPRD terus menyusun program tanpa mendengar suara Lambitu, dan Bupati terus berbicara pembangunan tanpa menyebut penderitaan Lambitu, maka satu-satunya yang layak disebut wakil rakyat adalah suara protes dari jalanan.

Setiap lubang adalah dokumen pembusukan keadilan. Setiap tumpukan batu adalah arsip dari janji yang dilanggar. Setiap tapak kaki masyarakat Lambitu yang melintasi jalan itu adalah desakan agar keadilan tidak hanya menjadi jargon, tapi menjadi konkret di atas aspal.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *