Bima, 18 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Jika pendekatan Rational Choice digunakan untuk menakar prioritas pembangunan, maka seharusnya infrastruktur jalan Lambitu menjadi urgensi paling mendesak dalam benak para pengambil keputusan di Kabupaten Bima. Namun yang terjadi justru sebaliknya: selama dua dekade, pemerintah memilih untuk tidak memilih Lambitu. Dan kini, seorang anak kecil berusia enam tahun nyaris kehilangan nyawanya di jalanan yang seharusnya menjadi jalur penyelamat.
Dalam logika pilihan rasional, setiap kebijakan publik idealnya mempertimbangkan keuntungan terbesar dan risiko paling kecil bagi keselamatan rakyat. Maka mari bertanya: apa untungnya membiarkan Lambitu tertinggal? Adakah logika publik yang membenarkan keputusan politik ini?
Biaya medis anak itu bisa saja ditanggung negara. Tapi biaya transportasi ke rumah sakit? Ditanggung sendiri, karena jalan rusak memaksa keluarga menyewa mobil.
Motor bukan opsi, karena jalan penuh lubang dan rawan kecelakaan. Maka mobil menjadi pilihan rasional satu-satunya meski itu berarti menambah beban ekonomi keluarga kecil.
Apa yang dialami keluarga kecil tersebut bukan semata nasib buruk. Itu adalah konsekuensi langsung dari keputusan politik yang berulang kali menyingkirkan Lambitu dari daftar prioritas anggaran. Ketika jalan rusak menjadi risiko tambahan dalam akses kesehatan, maka pemerintah telah mengambil keputusan untuk membiarkan nyawa jadi taruhan. Dan itu bukan pilihan rasional itu pilihan fatal.
Jika pembangunan jalan ditunda karena keterbatasan anggaran, maka rugi yang ditanggung rakyat Lambitu jauh lebih besar. Rugi waktu, rugi biaya, rugi keselamatan, rugi martabat. Setiap kali anak kecil harus dibawa dengan mobil sewaan demi menghindari kecelakaan di jalan rusak, maka itu adalah bentuk rugi yang tidak bisa dikompensasi oleh pidato politik atau laporan tahunan.
Jika pendekatan rasional benar-benar digunakan, maka Bupati dan DPRD semestinya segera memperbaiki jalan di Lambitu. Karena nyawa bukan angka, dan risiko bukan wacana. Ketika anak kecil harus bertaruh antara hidup dan lubang jalan, maka kita sudah meninggalkan akal sehat.




















