banner 728x250

Mengapa Palu Anggaran DPRD Tak Mampu Meratakan Jalan Rusak di Lambitu?

Bima, 20 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Jika eksekutif sibuk dengan seremoni “Selasa Menyapa” dan berlindung di balik dalih “usia jabatan”, maka sebuah pertanyaan yang lebih fundamental harus dilontarkan: Di manakah para “wakil rakyat” yang terhormat dari DPRD Kabupaten Bima?

Di tengah drama ironi ini, panggung politik DPRD justru tampak sunyi senyap. Lembaga yang memegang tiga fungsi keramat legislasi, anggaran, dan pengawasan seolah kehilangan suara dan taringnya, terutama dalam menyikapi derita infrastruktur yang sudah menahun di Lambitu.

Ini bukan sekadar kelalaian, ini adalah sebuah anomali politik yang patut dicurigai. pengawasan yang mandul dan anggaran yang buta arah.

Fungsi pengawasan DPRD seharusnya menjadi mata dan telinga rakyat yang paling tajam. Merekalah yang semestinya menjadi pihak pertama yang mencecar Bupati di ruang rapat paripurna, menanyakan mengapa program “menyapa” tidak dimulai dengan “memperbaiki jalan” yang rusak. Apakah fungsi pengawasan kini hanya sebatas ritual kunjungan kerja yang diakhiri dengan foto bersama, tanpa daya paksa politik yang konkret?

Namun, senjata paling ampuh milik DPRD adalah palu anggaran. Setiap rupiah dalam APBD Kabupaten Bima tidak akan cair tanpa persetujuan mereka. Selama bertahun-tahun, dalam setiap sidang pembahasan anggaran, ke mana arah prioritas para legislator ini?

Dari balik dinding sejuk gedung DPRD, suara klakson mobil yang terjebak lumpur Lambitu agaknya terdengar terlalu sayup, atau mungkin sengaja diredam oleh riuhnya lobi-lobi untuk proyek lain yang lebih “strategis” bagi kepentingan kelompok tertentu. Palu anggaran yang seharusnya digedokkan untuk meratakan jalan penderitaan rakyat, kini lebih terdengar seperti ketukan sunyi di ruang hampa.

Para legislator yang sejatinya adalah “penyambung lidah rakyat” kini tampak lebih fasih menjadi “penyambung keheningan kolektif”. Mereka adalah aktor-aktor utama dalam sebuah teater politik di mana penderitaan rakyat hanya menjadi catatan kaki dalam risalah rapat, bukan menjadi agenda utama yang diperjuangkan hingga titik darah penghabisan.

Atau mungkin, jalanan Lambitu yang rusak parah itu sengaja tidak diusulkan dalam anggaran prioritas karena tidak menawarkan “nilai lebih” secara politik? Jalan yang mulus tidak bisa lagi dijadikan komoditas janji kampanye pada pemilu berikutnya. Sebuah kalkulasi politik yang sinis, namun sangat mungkin terjadi dalam realitas kekuasaan yang transaksional.

Keheningan DPRD Kabupaten Bima dalam isu ini bukanlah sikap netral, melainkan sebuah bentuk keberpihakan pada status quo yang menyakitkan. Ini adalah pengkhianatan terhadap sumpah jabatan mereka untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan konstituennya.

Rakyat tidak hanya memilih eksekutif untuk bekerja; mereka juga memilih legislatif untuk mengawasi. Ketika keduanya sama-sama abai, maka rakyat dipaksa untuk mengawasi sendirian. Sebuah catatan yang kelak akan ditagih oleh rakyat yang sama rakyat yang suaranya mereka pinjam untuk duduk di kursi terhormat itu, namun mereka tinggalkan saat paling dibutuhkan.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *