BIMA, 21 Agustus 2025 || Kawah NTB – Skandal dugaan praktik ilegal kayu Sonokeling di Sambina’e, Bima, memasuki babak baru yang mengarah langsung pada jantung birokrasi kehutanan. Di tengah mandeknya proses hukum, Kepala Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Maria Donggo Masa, Ahyar, menjadi sorotan utama. Pernyataannya yang mengaku “tidak tahu” mengenai keberadaan pabrik pengolahan kayu ilegal di wilayah kerjanya dinilai publik sebagai kebohongan yang menghina akal sehat dan menjadi puncak kegagalan seorang pejabat negara.
Tuntutan publik kini semakin keras dan terarah: Gubernur NTB didesak untuk menggunakan kewenangannya mencopot Ahyar dari jabatannya. Pejabat dengan watak yang membiarkan kejahatan ekologis merajalela dianggap sebagai sampah birokrasi yang harus segera dibersihkan sebelum merusak seluruh sistem.
Ahyar: Potret Pengkhianatan Amanah dan Bahaya Laten
Sikap yang ditunjukkan oleh Ahyar tidak bisa lagi ditoleransi hanya sebagai kelalaian. Analisis publik dan para aktivis menyimpulkan dua kemungkinan, yang keduanya berujung pada satu kesimpulan: dia tidak layak menjabat.
Jika Inkompeten, Dia adalah Beban Negara.
Seorang kepala wilayah yang tidak menguasai medannya, tidak mengetahui adanya industri ilegal berskala besar, adalah definisi kegagalan manajerial yang fatal. Pejabat seperti ini hanya memakan gaji buta, menjadi benalu dalam sistem, dan membiarkan aset negara dijarah karena ketidakmampuannya. Dalam skenario ini, pemecatan adalah konsekuensi logis atas performa yang jauh di bawah standar.
Jika Berbohong, Dia adalah Fasilitator Kejahatan.
Skenario yang lebih dipercaya publik adalah Ahyar mengetahui aktivitas ilegal tersebut namun memilih pembiaran yang disengaja (omisi). Sikap “tutup mata” ini adalah bentuk kolusi pasif yang memungkinkan mafia kayu bergerak bebas. Pejabat dengan karakter seperti ini jauh lebih berbahaya, karena ia secara sadar mengizinkan kejahatan terjadi. Dia bukan lagi abdi negara, melainkan telah bermetamorfosis menjadi penjahat berseragam yang mendukung perusakan lingkungan demi kepentingan segelintir orang.
“Pejabat seperti itu tempatnya bukan di kursi empuk kantor pemerintahan, tetapi di tong sampah sejarah birokrasi yang bobrok,” ujar seorang pemerhati kebijakan publik di Bima. “Dia adalah penjahat yang mendukung kejahatan. Mempertahankannya sama dengan merestui penghancuran hutan Bima.”
Gubernur NTB di Persimpangan Jalan: Selamatkan Hutan atau Lindungi Bawahan?
Publik kini menantang ketegasan Gubernur NTB. Menunggu putusan pengadilan yang bisa memakan waktu bertahun-tahun adalah sebuah kemewahan, sementara setiap hari hutan Sonokeling terus dijarah. Gubernur memiliki dasar yang kuat untuk bertindak sekarang:
Tindakan Administratif adalah Hak Prerogatif: Pelanggaran etika berat, kegagalan fungsi, dan keresahan publik yang meluas sudah lebih dari cukup sebagai dasar untuk Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). Gubernur tidak perlu ragu menggunakan kewenangannya.
Menyelamatkan Martabat Pemerintah: Membiarkan Ahyar menjabat hanya akan mengirim pesan bahwa Pemprov NTB lemah dan melindungi pejabat yang gagal. Pemecatan Ahyar akan menjadi simbol pembersihan internal dan pemulihan kepercayaan publik.
Perang Melawan Mafia: Mencopot Ahyar adalah tembakan peringatan bagi semua pemain ilegal di NTB. Ini adalah sinyal bahwa era “beking” dari oknum pejabat telah berakhir.
Rakyat Bima dan NTB sudah muak dengan drama dan dalih. Mereka menuntut tindakan nyata. Bola panas ada di tangan Gubernur: pecat Ahyar untuk membuktikan bahwa negara tidak akan pernah kalah oleh para penjahat, baik yang ada di dalam maupun di luar sistem.






































