BIMA, 15 Desember 2025 || Kawah NTB – Narasi manis tentang Wakil Rakyat yang merakyat tampaknya harus kita telan bulat-bulat, lalu muntahkan kembali saat melihat fakta hukum yang terjadi di lapangan. Publik sedang disuguhi sebuah panggung sandiwara yang menggelikan sekaligus menakutkan dari seorang Anggota DPR RI Fraksi PKB, Umi Mahdalena.
Bung Adul, Sekretaris Jenderal Barisan Oposisi Mahasiswa Sulawesi Selatan (BOM Sulsel), angkat bicara dengan nada tinggi menanggapi apa yang ia sebut sebagai Kriminalisasi Gaya Baru.
“Jangan terkecoh dengan senyum manis di baliho. Faktanya, ada upaya pembungkaman sistematis yang sedang dimainkan,” ujar Bung Adul dalam keterangan resminya, Minggu (14/12/2025).
Bung Adul membeberkan bukti yang menurutnya adalah aib demokrasi yang coba disembunyikan. Semua bermula dari tanggal 26 Juli 2025. Saat itu, sebuah Laporan Polisi (LP) dengan nomor LP/B/105/VII/2025/SPKT/POLDA NTB mendarat di meja kepolisian. Pelapornya? Sang Dewan yang terhormat, Umi Mahdalena. Terlapornya? Seorang aktivis yang berani mengkritik mekanisme sistem bisnis Boli Mahdalena yang mirip seperti sistem bisnis PKI.
“Lucunya, proses hukum ini ngebutnya minta ampun, ngalahin sirkuit Mandalika,” sindir Bung Adul.
Hanya berselang lima hari, tepatnya 31 Juli 2025, Surat Perintah Penyidikan (SP.Sidik) pertama langsung keluar dengan nomor SP.Sidik/54/VII/RES.2.5./2025/Ditreskrimsus. Di hari yang sama, SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) bernomor B/SPDP/27/VII/RES.2.5./2025/Ditreskrimsus juga terbit. Namun, keanehan mulai tercium bagi mereka yang paham hukum. Pada 09 September 2025, muncul SP Sidik kedua. Ini manuver apa? Kok SP Sidik bisa berjilid-jilid? Orang hukum pasti tertawa melihat pola permainan ini, tambah Adul.
Puncak dari drama ini terjadi di bulan Desember 2025. Sang aktivis pengkritik akhirnya resmi ditetapkan sebagai Tersangka. Surat Ketetapan Tersangka nomor S.Tap Tsk/54/XII/RES.25/2025/Ditreskrimsus keluar dengan jeratan Pasal 27A Jo Pasal 45 ayat (4) UU No. 1/2024. Sebuah pasal revisi UU ITE yang lagi-lagi jadi senjata ampuh mematikan nalar kritis.
“Yang bikin geleng kepala, surat penetapan itu di bulan Desember tapi tanggalnya kosong/tidak jelas. Ini administrasi hukum atau main tebak-tebakan? Pola licik macam apa yang sedang dipertontonkan Polda ini?” kecam Bung Adul.
Lebih lanjut, Bung Adul menyoroti kabar terbaru tentang dua orang lainnya yang kini juga dipaketkan dalam laporan hukum. Meski Umi Mahdalena menyangkal terlibat atau mengklaim tidak ada kaitan pribadi, bagi BOM Sulsel, itu hanya retorika basi.
“Sudahlah, jangan main sinetron Indosiar. Logika publik itu sederhana. Akar masalah yang dibicarakan dua orang ini adalah soal DUIT milik Ibu Mahdalena. Kalau beliau bilang tidak terlibat, itu pola permainan sudah terbaca dan terbiasa digunakan dari zaman dulu,” tegasnya.
Bagi BOM Sulsel, tujuan pelaporan ini sudah sangat jelas, terapi kejut (Shock Therapy). Bukan untuk mencari keadilan, tapi untuk menebar ketakutan. Penjara dijadikan alat finalisasi untuk membungkam mulut-mulut yang berisik.
Kita sedang menunggu episode selanjutnya. Apakah dua orang berikutnya ini akan bernasib sama dengan aktivis yang sudah jadi tersangka itu? Jika iya, selamat datang di era dimana kritik dibalas dengan jeruji besi, dan wakil rakyat berubah fungsi menjadi predator bagi rakyatnya sendiri.








































