banner 728x250

Di Meja Sekda, Aspirasi Lambitu Menjadi Korban Administrasi

Bima, 27 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Mentari hari Minggu terbit di Bima, namun sinarnya seolah tak mampu menembus pekatnya kabut kelabu yang menyelimuti birokrasi Pemerintah Kabupaten Bima. Dua hari telah berlalu sejak kritik tajam dilontarkan terkait mandeknya surat permohonan audiensi dari Aliansi Pemuda Peduli Lambitu (APPL) dan Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI). Kini, penantian itu telah membentang selama tiga belas hari. Keheningan dari kantor Sekretaris Daerah (Sekda) di akhir pekan ini bukan lagi sekadar jeda administratif, melainkan telah menjelma menjadi sebuah pernyataan politik yang dingin: aspirasi rakyat Lambitu tidak dianggap sebagai prioritas.

Jika sebelumnya kita mempertanyakan fungsi Sekda, kini pertanyaan itu berevolusi menjadi lebih fundamental: di mana nurani dan etika pelayanan publik para abdi negara? Akhir pekan, yang seharusnya bisa menjadi momen untuk mengevaluasi keluhan publik yang mendesak, justru menegaskan adanya jurang pemisah yang kian menganga antara pemerintah dan warganya. Sikap diam ini adalah bentuk paling kejam dari pengabaian, sebuah pesan implisit bahwa penderitaan warga Lambitu hanyalah statistik bisu dalam laporan tahunan.

Arogansi Kekuasaan vs. Kelumpuhan Sistemik

Keheningan selama tiga belas hari ini memaksa kita untuk menganalisis dua kemungkinan diagnosis patologi birokrasi yang sedang terjadi. Pertama, ini adalah manifestasi dari arogansi kekuasaan. Para elite birokrasi mungkin merasa berada di atas kritik dan tidak terikat pada kewajiban untuk merespons suara-suara “akar rumput”. Surat dari aliansi masyarakat dianggap angin lalu, tidak cukup penting untuk mengusik agenda rutin mereka. Jika ini yang terjadi, maka slogan “Bima Bermartabat” hanyalah fasad kosong untuk menutupi praktik kekuasaan yang anti-partisipasi dan anti-kritik.

Kedua, dan mungkin lebih mengkhawatirkan, ini adalah gejala kelumpuhan sistemik yang total. Artinya, mesin birokrasi di bawah komando Sekda memang sudah sedemikian rusak sehingga fungsi paling dasar seperti manajemen persuratan dan penjadwalan audiensi pun tidak mampu berjalan. Roda pemerintahan berputar tanpa arah, digerakkan oleh rutinitas mekanis, bukan oleh kebutuhan riil masyarakat. Jika motor penggerak administrasi saja sudah mogok, bagaimana mungkin program-program pembangunan yang lebih kompleks bisa berjalan efektif dan tepat sasaran?

Dari Surat yang Terabaikan Menuju Gerakan yang Tak Terbendung

Pemerintah Kabupaten Bima, khususnya Sekda, harus menyadari bahwa dengan mengabaikan surat resmi ini, mereka tidak sedang meredam masalah. Sebaliknya, mereka justru sedang menyiram bensin ke dalam api amarah dan frustrasi publik yang telah terpendam selama dua dekade. Kesabaran publik ada batasnya. Ketika jalur formal dan dialogis seperti surat dan permohonan audiensi sengaja ditutup rapat, maka jangan salahkan rakyat jika mereka mencari jalan lain untuk didengar.

Sejarah mengajarkan bahwa gerakan sosial besar sering kali lahir dari akumulasi pengabaian-pengabaian kecil. Surat APPL dan LBHPRI yang kini teronggok di meja birokrasi bisa menjadi percikan api yang menyulut gelombang perlawanan yang lebih besar. Ini bukan lagi sekadar soal jalan rusak di Lambitu. Ini telah menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan, kelalaian, dan kesewenang-wenangan birokrasi. Kegagalan merespons surat ini adalah kegagalan membaca denyut nadi masyarakat.

Waktu terus berjalan, dan setiap detiknya menambah panjang daftar penderitaan warga Lambitu. Pertanyaannya bukan lagi “Akankah Sekda menjawab?”, melainkan “Langkah konkret apa yang akan diambil rakyat Lambitu ketika pintu dialog sengaja dikunci dari dalam?”. Keheningan dari kantor Sekda mungkin akan segera dijawab oleh suara gemuruh pergerakan dari jalanan Lambitu yang berlumpur. Dan saat itu terjadi, jangan ada yang berpura-pura terkejut.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *