BIMA, 4 November 2025 || Kawah NTB – Eskalasi dugaan skandal mahar jabatan Lurah Jatibaru Timur senilai Rp 45 juta semakin memanas. Alih-alih mereda, bantahan keras dan tantangan lapor saja dari Walikota Bima, H.A. Rahman, justru menyulut respon yang lebih tajam dari Advokat Bima, Bung Nurkrah.
Respon Nurkrah, yang diterima redaksi Kawah NTB hari ini (3/11), tidak main-main. Ia sama sekali tidak gentar dengan tantangan Walikota Bima untuk melapor ke aparat penegak hukum (APH). Sebaliknya, Nurkrah menilai tanggapan Walikota tersebut sebagai manuver klasik seorang pejabat yang terpojok.
“Jadi prinsipnya tanggapan wali kota soal rumor itu klasik,” ujar Nurkrah dengan santai.
Menurutnya, melempar bola panas ke pelapor dengan tantangan lapor polisi adalah strategi usang untuk mendinginkan isu.
“Kata lapor saja adalah upaya pengalihan issue agar di tafsirkan issue tersebut jadi fitnah,” tegas Nurkrah.
Nurkrah Menantang Balik, berani Copot PLT Lurah?
Bagi Nurkrah, pembuktian praktik mahar jabatan yang bersifat rahasia dan transaksional memang sulit di ranah hukum. Namun, ia menawarkan pembuktian yang lebih sederhana dan terang benderang yang bisa dilakukan langsung oleh Walikota Bima jika memang serius dengan jaminannya.
“Baru bisa dianggap tegas paling minim itu copot PLT (Lurah Jatibaru Timur). Pertanyaan saya, berani ngak copot PLT Lurah Jati Baru Timur?” gugat Nurkrah.
Tantangan ini, menurutnya, adalah ujian sesungguhnya dari komitmen anti-KKN yang digaungkan Walikota. Jika H.A. Rahman berani mencopot Pelaksana Tugas (PLT) Lurah yang diduga terlibat dalam transaksi tersebut, maka publik akan percaya.
Berani copot Lurah Jatibaru Timur itu baru terang Pak Aji Rahman, sambungnya. Jika tidak, wajar di duga jabatan itu di bandrol.
Nurkrah bahkan membeberkan dugaan latar belakang oknum PLT tersebut yang dinilai problematis. “Soalnya waktu Pilkada, oknum itu fix bagi-bagi uang untuk pasalon (paslon) lain,” ungkapnya.
Baginya, kasus ini adalah puncak gunung es. PLT Lurah Jatibaru Timur bisa dijadikan komparasi dalam penetapan pejabat di ruang lingkup Pemkot tidak luput dari praktek transaksional, jelasnya.
“Jabatan PLT saja di lahap, apalagi dinas-dinas yang basah. KKN harus dimusnahkan!” tutup Nurkrah dengan nada tinggi.
Sikap Walikota Bima yang defensif dan memilih menantang pelapor ketimbang melakukan investigasi internal dinilai banyak pihak sebagai cerminan kegagalan dalam menerapkan prinsip dasar kepemimpinan.
Seorang pemimpin, terutama di tengah krisis kepercayaan publik, setidaknya harus memegang tiga peran sentral:
Prinsip Fasilitator: Alih-alih melempar tanggung jawab pembuktian ke publik (lapor polisi), seorang Walikota seharusnya menjadi fasilitator utama untuk mencari kebenaran. Ia memiliki Inspektorat dan perangkat internal untuk memverifikasi dugaan yang melibatkan orang dekatnya sendiri. Tantangan lapor saja adalah anti-tesis dari peran fasilitator.
Prinsip Mediator: Ketika terjadi gejolak di masyarakat seperti penyegelan kantor lurah oleh warga pemimpin harus hadir sebagai mediator. Ia harus menengahi, bukan malah mengambil posisi berhadap-hadapan dengan pengkritik. Sikap H.A. Rahman yang langsung menjamin tidak ada mahar dan menyebutnya “fitnah” adalah sikap partisan, bukan mediator.
Prinsip Motoris (Motor): Pemimpin adalah motor atau penggerak utama reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN. Ketika motor ini justru sibuk membantah dugaan korupsi di lingkarannya sendiri tanpa ada upaya pembuktian internal, publik pantas bertanya: Apakah motor ini sedang menggerakkan pemerintahan bersih, atau justru melindungi status quo?
Publik kini tidak lagi menunggu laporan polisi. Publik menunggu keberanian H.A. Rahman menjawab satu pertanyaan sederhana dari Nurkrah: “Berani copot PLT Lurah Jatibaru Timur?”



							
















