BIMA, 30 Agustus 2025 || Kawah NTB – Ruang Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Bima pada Jumat, 29 Agustus 2025, menjadi saksi bisu arogansi institusional saat para wakil rakyat yang terhormat diduga kuat mencoba mengelabui publik dan menginjak-injak peraturan perundang-undangan. Upaya licik untuk hanya menyerahkan laporan reses tanpa membacakannya secara terbuka berhasil digagalkan oleh perlawanan sengit dari Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI), yang menelanjangi manuver tersebut sebagai indikasi kuat adanya “reses fiktif” yang menelan anggaran miliaran rupiah.
Drama ini dimulai ketika Fajrin, yang akrab disapa Bung Fajar, selaku Koordinator Divisi Non-Litigasi LBH-PRI, memprotes agenda paripurna yang terkesan main-main. Namun, alih-alih mendapatkan respons yang demokratis, ia justru dihadiahi pernyataan bernada anti-rakyat dari Ardiwin, Ketua Komisi IV.
“Peserta selain dari DPRD, tidak boleh bersuara. Lihat, dengar dan ikuti saja apa yang disepakati kami. Syukur-syukur dikasih masuk dan mengikuti paripurna,” hardik Ardiwin, sebuah kalimat yang secara telanjang mempertontonkan cara pandang dewan yang menempatkan rakyat sebagai penonton bisu, bukan sebagai pemilik kedaulatan.
Mendapat serangan verbal, Bung Fajar tidak gentar. Ia justru membombardir balik dengan argumentasi hukum yang kokoh, seolah memberikan kuliah hukum gratis kepada para legislator yang tampaknya lupa pada aturan main mereka sendiri.
“Sikap dewan ini adalah pelecehan terang-terangan terhadap hukum! Mereka lupa bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 secara tegas mengatur bahwa rapat di DPRD bersifat terbuka. Pasal 90 Ayat (1) menyatakan setiap rapat bersifat terbuka, dan Ayat (2) secara imperatif mewajibkan Rapat Paripurna wajib dilaksanakan secara terbuka. Jadi, tidak ada hak bagi dewan untuk membungkam suara kami!” tegas Bung Fajar.
Lebih dalam, Bung Fajar menguliti kejanggalan utama, yakni penolakan dewan membacakan hasil reses yang merupakan kewajiban mutlak.
“Rapat Paripurna, menurut Pasal 89 Ayat (2) PP 12/2018, adalah forum rapat tertinggi. Di sinilah tempatnya pertanggungjawaban kepada publik. Pasal 88 Ayat (5) mewajibkan anggota DPRD melaporkan hasil reses yang memuat: (a) Waktu dan tempat kegiatan; (b) tanggapan, aspirasi, dan pengaduan dari masyarakat; serta (c) dokumentasi peserta. Bagaimana publik bisa tahu isi laporan itu jika hanya diserahkan di bawah meja? Penolakan ini adalah bukti paling sahih yang menguatkan dugaan kami bahwa dokumen reses itu fiktif!” serangnya.
Bung Fajar secara tajam membeberkan modus “reses fiktif” yang diduga menjadi praktik umum.
“Kami menduga keras, anggaran miliaran itu tidak digunakan untuk menyerap aspirasi. Modusnya hanya mendatangi hajatan keluarga atau keramaian desa, lalu dewan numpang pasang spanduk, foto-foto, kemudian memberi uang saku agar masyarakat mau mengisi buku tamu. Inilah alasan mengapa mereka takut membacakannya, karena isinya kosong melompong!”
Ia juga mengingatkan konsekuensi hukum yang fatal dari tindakan ini, sesuai dengan Pasal 88 Ayat (6). “Aturan ini sangat jelas: Anggota DPRD yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana mestinya, tidak dapat melaksanakan reses berikutnya. Jika laporan mereka tidak bisa diuji di depan publik, maka secara hukum mereka tidak layak lagi menerima dana reses ke depan!”
Gempuran argumentasi hukum yang tak terbantahkan itu akhirnya memaksa pimpinan paripurna menyerah dan menyetujui pembacaan hasil reses untuk Dapil 4, 5, dan 6.
Meskipun beberapa anggota dewan, termasuk Supardi (Ketua Komisi I) dan Ardiwin sendiri, mencoba mendinginkan suasana dengan berjanji akan memberikan salinan laporan, LBH-PRI memandang ini sebagai taktik usang.
“Kami tidak akan tertipu oleh janji manis. Kami akan kembali hari Senin, 1 September 2025, untuk menagih salinan reses semua dewan! Salinan itu akan menjadi alat bukti kami untuk mengawal dan membongkar realisasi program Pokir, yang selama ini kami duga sarat dengan praktik kotor jual beli dan penguasaan proyek. Pertarungan ini baru saja dimulai!” pungkas Fajrin dengan nada mengancam.


