Bima, 8 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Proses hukum yang menjerat Zunaidin, warga Bima, atas dugaan pencemaran nama baik terhadap anggota DPR RI Mahdalena, kini berada di tubir jurang. Dua amar putusan krusial dari Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024 tidak hanya menjadi angin segar, tetapi berfungsi sebagai benteng konstitusional yang berpotensi meruntuhkan seluruh fondasi hukum kasus ini.
Putusan MK: Batasan Baru yang Mengikat
Pada 29 April 2025, MK secara fundamental mengubah peta hukum pencemaran nama baik di Indonesia. Dua amar putusan dalam perkara tersebut menjadi relevan secara langsung terhadap kasus Zunaidin:
- MK menegaskan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A tidak berlaku untuk “lembaga pemerintah, … profesi atau jabatan”.
- MK mempersempit makna frasa “suatu hal” dalam Pasal 27A menjadi harus dimaknai sebagai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang”.
Putusan ini bersifat final dan mengikat, memaksa aparat penegak hukum untuk menerapkan pasal pencemaran nama baik dengan kacamata yang sama sekali baru.
Analisis Amar Putusan Pertama: Kritik pada “Jabatan”, Bukan “Orang”
Amar putusan pertama menciptakan sebuah demarkasi yang jelas. Pasal 27A dirancang untuk melindungi kehormatan individu pribadi, bukan institusi atau jabatan publik dari kritik.
- Fakta Kasus: Ibu Mahdalena adalah anggota DPR RI, sebuah “jabatan” yang melekat pada “lembaga pemerintah”.
- Konteks Pernyataan: Kritik Zunaidin, “MAHDALENA SUKSES MEMBANGUN BISNIS KOMUNISNYA BANYAK RAKYAT TERBUNUH MATA PENCAHARIANYA”, jelas diarahkan pada tindakan Mahdalena dalam kapasitasnya yang diduga berkaitan dengan posisinya sebagai pejabat publik yang memengaruhi “mata pencaharian rakyat”.
- Implikasi Hukum: Berdasarkan amar putusan MK, kritik yang ditujukan pada Mahdalena dalam kapasitasnya sebagai pejabat atau terkait jabatannya secara eksplisit dikecualikan dari jangkauan Pasal 27A. Tuduhan tersebut seharusnya tidak dapat diproses sejak awal karena objek yang dikritik (jabatan/lembaga) telah dikeluarkan oleh MK dari definisi “orang lain” yang dapat dilindungi oleh pasal ini.
Analisis Amar Putusan Kedua: Apakah “Membangun Bisnis” Merendahkan Kehormatan?
Amar putusan kedua semakin memperdalam benteng pertahanan bagi kebebasan berpendapat. Tuduhan yang dilontarkan haruslah tentang “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan”.
Mari kita uji pernyataan Zunaidin dengan standar baru ini:
Tuduhan: “Membangun bisnis komunisnya”.
Analisis: Ini adalah tuduhan terhadap sebuah aktivitas ekonomi dan ideologi politik yang dilekatkan pada bisnis tersebut. Ini bukanlah tuduhan terhadap sebuah perbuatan yang secara inheren merendahkan martabat atau kehormatan personal, seperti menuduh seseorang melakukan perbuatan asusila atau perbuatan tercela lain yang menyerang langsung ke pribadi. Mengkritik model bisnis seseorang, sekalipun dengan label yang provokatif seperti “komunis”, adalah kritik terhadap metode dan dampak pekerjaan, bukan serangan terhadap kehormatan personalnya.
Dengan demikian, pernyataan Zunaidin gagal memenuhi syarat kedua yang ditetapkan MK. Tuduhan “membangun bisnis” bukanlah jenis “perbuatan” yang dimaksud oleh MK sebagai sesuatu yang merendahkan kehormatan pribadi seseorang.
Kesimpulan: Kasus yang Kehilangan Pijakan Hukum
Dengan dua pilar dari Putusan MK ini, kasus yang menjerat Zunaidin secara dramatis kehilangan pijakan hukumnya. Argumentasinya menjadi sangat jelas dan berlapis:
- Objek yang dikritik Zunaidin adalah “jabatan” atau tindakan yang terkait dengan jabatan publik, yang oleh MK telah dikeluarkan dari lingkup Pasal 27A.
- Substansi kritikannya adalah tentang “pekerjaan” (bisnis) dan dampaknya, bukan tentang “perbuatan yang merendahkan kehormatan” pribadi sebagaimana yang kini disyaratkan oleh MK.
Kasus ini kini menjadi ujian litmus bagi kepatuhan aparat penegak hukum terhadap konstitusi. Melanjutkan proses hukum terhadap Zunaidin dapat dianggap sebagai tindakan yang bertentangan langsung dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat, sekaligus mengabaikan perlindungan hak warga negara untuk melakukan kontrol sosial terhadap penyelenggara negara.




















