Erwin Terjebak Perangkapnya Sendiri: Laporannya Justru Membuat Muhlis Plano Menjadi Simbol Perlawanan Rakyat

BIMA, 3 Oktober 2025 || Kawah NTB – Upaya hukum yang dilancarkan Wakil Ketua I DPRD Bima, Muhammad Erwin, untuk membungkam kritik ternyata menabrak karang yang jauh lebih keras dari perkiraannya. Alih-alih gentar, Muhlis Plano, aktivis yang dilaporkan, justru menabuh genderang perang dengan lebih nyaring. Ia menyatakan sikap tidak akan mundur sejengkal pun dan siap bertarung hingga akhir.

“Bagi saya, sebagai petarung lapangan, kalau sudah maju, haram hukumnya untuk mundur,” tegas Muhlis Plano dalam pernyataannya kepada publik, Kamis (2/10).

Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah deklarasi perlawanan terbuka terhadap apa yang dianggapnya sebagai arogansi kekuasaan. Sikap Muhlis Plano mengirimkan pesan yang menusuk langsung ke jantung kekuasaan di Bima: ancaman pidana tidak akan pernah bisa membeli keheningan atau memadamkan api nalar kritis.

Menurutnya, laporan polisi yang dilayangkan Erwin bukanlah murni persoalan hukum, melainkan sebuah strategi intimidasi yang dirancang untuk menciptakan ketakutan massal. Tujuannya jelas, agar tidak ada lagi warga yang berani bersuara lantang mengkritisi dugaan-dugaan penyelewengan yang melekat pada jabatan publik.

“Jika mereka berpikir laporan ini akan membuat saya tiarap, mereka salah besar. Ini justru menjadi bahan bakar baru. Saya akan tetap kooperatif menjalani proses hukum, karena saya percaya pada kebenaran. Tapi jangan harap saya berhenti bersuara. Suara ini akan semakin kencang,” ujarnya.

Sikap ksatria yang ditunjukkan Muhlis Plano ini mengubah total narasi pertarungan. Ini bukan lagi sekadar soal adu argumen hukum di ruang penyidik, melainkan telah menjadi pertaruhan martabat antara warga negara yang menuntut akuntabilitas dengan pejabat publik yang diduga menggunakan kekuasaannya untuk berlindung dari pengawasan.

Dengan menantang balik, Muhlis Plano secara efektif membalikkan tekanan. Jika sebelumnya Erwin berada di posisi penyerang, kini ia justru terperangkap dalam posisi yang harus membuktikan bahwa laporannya bukanlah bentuk kepanikan atau upaya menutupi sesuatu.

“Biarkan proses ini berjalan. Biarkan publik yang menilai siapa yang sesungguhnya berjuang untuk kehormatan dan siapa yang sedang menyalahgunakan kehormatan itu. Kita lihat nanti, siapa yang akan tumbang duluan dalam pertarungan ini,” pungkas Muhlis dengan nada menantang.

Pernyataan keras ini menjadi babak baru dalam drama demokrasi di Bima. Satu orang warga negara telah memutuskan untuk tidak takut, memilih berdiri tegak di hadapan kekuatan legislatif, dan mempertaruhkan segalanya demi prinsip bahwa penguasa harus diawasi. Kini, mata publik Bima tertuju pada arena ini, menanti babak akhir dari pertarungan antara suara kritis rakyat melawan benteng kekuasaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *