Bima, 27 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Jika persoalan selembar surat permohonan audiensi hanyalah urusan teknis di meja seorang sekretaris daerah, maka kebisuan yang membentang setelah tiga belas hari adalah sebuah mahakarya politik dari sang penguasa tertinggi Kabupaten Bima itu sendiri. Mari kita berhenti berpura-pura bahwa ini adalah kelalaian administratif. Tidak. Ini adalah sebuah pertunjukan agung, sebuah opera sunyi yang dipentaskan langsung oleh Bupati Ady Mahyudin dari panggung kehormatannya. Dan rakyat Lambitu? Mereka hanyalah penonton yang dipaksa membeli tiket dengan penderitaan dua dekade untuk menyaksikan pertunjukan tentang betapa tidak berartinya suara mereka.
Di puncak menara gading kekuasaannya, mungkin Bupati Ady Mahyudin sedang sibuk merenungkan arti filosofis dari jalan yang penuh lubang. Mungkin dalam pandangannya, permukaan jalan di Lambitu yang kini laksana medan perang penuh kawah itu bukanlah simbol kegagalan infrastruktur. Oh, tentu bukan. Itu adalah sebuah instalasi seni minimalis, sebuah mozaik penderitaan yang menguji ketangkasan berkendara dan kekuatan tulang punggung warganya di tengah debu kemarau yang menyesakkan. Untuk apa aspal mulus yang fana, jika rakyat bisa dilatih menjadi pembalap reli dadakan setiap hari? Surat dari APPL dan LBHPRI itu, barangkali, dianggap merusak estetika dari kehancuran yang artistik tersebut.
Bima “BERMARTABAT”: Sebuah Akrobat Kata yang Spektakuler
Ah, betapa indahnya slogan “Bima BERMARTABAT” jika diucapkan dari dalam mobil dinas ber-AC yang melaju di jalanan kota yang mulus. Namun, mari kita bedah akronim keramat ini dari sudut pandang warga Lambitu yang setiap hari harus menghafal letak setiap lubang di jalan:
- Religius? Tentu saja sangat religius. Mengajarkan rakyat untuk lebih banyak beristigfar setiap kali ban motor mereka menghantam lubang adalah puncak kearifan spiritual. Membiarkan mereka dalam kesulitan adalah cara terbaik agar mereka tidak lupa pada Tuhan… dan pada bengkel terdekat.
- Aman? Aman sekali. Aspirasi rakyat aman terkunci di dalam laci, tidak akan pernah keluar untuk mengganggu ketenangan para elite. Jalanannya pun penuh “jebakan” yang membuat semua orang harus ekstra hati-hati, sebuah bentuk keamanan yang unik.
- Makmur? Kemakmuran adalah soal perspektif. Jika Anda mengukurnya dari jumlah janji yang ditebar saat kampanye, maka Bima adalah kabupaten termakmur di alam semesta. Jika diukur dari kondisi aspal di Lambitu yang lebih banyak lubangnya daripada aspalnya, ceritanya mungkin sedikit berbeda.
- Amanah? Amanah telah dijalankan dengan sempurna. Amanah untuk menjaga jarak dari keluhan rakyat, amanah untuk menganggap kritik sebagai angin lalu, dan amanah untuk melestarikan lubang-lubang jalan sebagai cagar budaya ketidakpedulian.
- Hebat? Hebat! Sungguh hebat kemampuan seorang pemimpin untuk tetap tersenyum di baliho sementara di sudut lain kabupatennya, rakyat harus menjadi pakar suspensi dadakan, berjuang melewati medan perang berlubang hanya untuk sekadar hidup. Inilah kehebatan sejati: seni memisahkan citra dari realita.
Menanti Jawaban dari Langit Ketujuh
Maka, kini rakyat Lambitu tidak lagi menunggu jawaban dari kantor Bupati. Itu terlalu naif. Mereka mungkin sedang menengadah ke langit, berharap ada keajaiban turun langsung tanpa melalui perantara birokrasi yang fana. Mungkin mereka berharap Bupati Ady Mahyudin, dalam salah satu agenda blusukan virtualnya melalui media sosial, secara tidak sengaja melihat video warga yang terjatuh di salah satu “kawah” kebanggaannya dan tersadar dari tidur panjangnya.
Namun, sejarah mengajarkan kita untuk tidak terlalu banyak berharap pada kebetulan. Keheningan Bupati Ady Mahyudin bukanlah kekosongan. Ia berisi pesan yang sangat jelas: “Urusan kalian tidak cukup penting untuk mengusik waktu saya.” Ini adalah puncak dari arogansi yang dibalut dengan senyum paternalistik.
Pertanyaannya kini berevolusi. Bukan lagi “Kapan Bupati akan bertindak?”, melainkan “Simfoni protes seperti apa yang harus dimainkan oleh rakyat Lambitu agar alunan musiknya mampu menembus dinding kedap suara di pendopo Bupati?”. Sebab, ketika seorang dirigen sengaja memilih untuk diam, maka orkestra rakyat yang terluka tidak punya pilihan selain memainkan musik perlawanannya sendiri. Dan biasanya, musik itu entah dalam bentuk debu yang dikepulkan serentak atau suara klakson yang tak berhenti jauh lebih berisik, lebih mengguncang, dan tidak akan berhenti hingga sang maestro turun dari panggungnya.




















