BIMA, 9 Desember 2025 || Kawah NTB – Gelombang kritik keras menghantam Anggota DPR RI Dapil NTB I, Mahdalena. Di balik citra religius dan keberhasilan mempertahankan kursi di Senayan, mencuat dugaan praktik politik kacang lupa kulit yang mencederai demokrasi lokal. Sorotan tajam ini datang dari akademisi Universitas Teknologi Surabaya, Bung Deven, yang menelanjangi ironi kepemimpinan sang legislator.
Bung Deven, Dosen Administrasi Publik, menyebut apa yang terjadi saat ini adalah peringatan bahaya bagi konstituen di Sumbawa dan Bima. Ia menyoroti kasus pelaporan ITE terhadap mantan tim sukses di Polda NTB sebagai bukti nyata arogansi kekuasaan.
“Ini bukan sekadar konflik personal, ini potret rapuhnya moralitas elit kita. Bagaimana mungkin sosok yang duduk di kursi empuk Senayan berkat keringat dan darah tim suksesnya, kini justru memenjarakan mereka yang dulu menggendongnya ke puncak?” ujar Bung Deven dalam keterangannya, Selasa (9/12).
Menurutnya, kemenangan Mahdalena dengan 173.144 suara pribadi bukanlah hasil kerja tunggal, melainkan akumulasi perjuangan kolektif yang kini seolah dibalas dengan air tuba. “Demokrasi kita sedang diuji. Ketika kemenangan dianggap bukan sebagai amanah tapi alat untuk menundukkan kawan yang dianggap tak lagi berguna, di situlah loyalitas mati,” tambahnya.
Analisis Bung Deven menukik tajam pada simbolisasi Jilbab Ijo yang kerap melekat pada Mahdalena. Ia menyebut simbol yang seharusnya mewakili kesejukan dan keteduhan agama, kini telah bermetamorfosis menjadi metafora kekuasaan yang manipulatif.
“Publik disuguhi senyum santun dan narasi doa, tapi di balik pintu tertutup, ada daftar panjang orang-orang yang siap ‘dihabisi’ jika tidak tunduk. Hijau itu kini tak lagi damai, ia menjadi tirai penutup dendam dan ambisi mematikan,” tegas Deven.
Tak hanya soal etika politik, kinerja Mahdalena terkait klaim keberhasilan penurunan Biaya Haji (BPIH) 2025 dan kenaikan kuota haji NTB pun tak luput dari bedah fakta sang pengamat. Bung Deven menilai klaim tersebut adalah politisasi program pusat yang dompleng nama demi menutupi minimnya prestasi riil untuk daerah.
Namun, tuduhan paling serius mengarah pada dugaan praktik monopoli ekonomi dalam penanganan banjir di Kecamatan Wera dan Ambalawi pada 2025. Penyaluran 1.500 paket bantuan yang bersumber dari anggaran negara, menurut Bung Deven, diduga kuat telah diselewengkan mekanismenya.
“Anggaran negara itu milik rakyat, untuk rakyat. Tapi data lapangan menunjukkan adanya monopoli; belanja bantuan justru diarahkan ke toko milik pribadi untuk membangun dinasti ekonomi keluarga. Ini bukan bantuan, ini bisnis berkedok bencana,” kecamnya.
Dalam pernyataannya, Bung Deven mengingatkan masyarakat Bima dan Sumbawa agar tidak terlena dengan politik bantuan sesaat. Model transaksi sembako dan paket Ramadan yang membelenggu pemilih hanya akan melahirkan pemimpin yang menyandera hak rakyat di kemudian hari.
Jika kita terus membiarkan proyek cepat dan bantuan instan menggantikan pembangunan sistematis, jangan harap ada lapangan kerja atau perbaikan ekonomi jangka panjang. Kita sedang memberi makan ego penguasa yang siap menerkam balik saat kita menuntut hak.








































