Hoaks Atau Fakta: Publik Tantang DPRD Bima Rafidin Serahkan Bukti LHP Sekda Ke Kejari

Bima, 9 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Setelah panggung politik Bima diguncang oleh tudingan korupsi yang dilontarkan anggota DPRD Rafidin, S.Sos., bola panas itu kini kembali ke tangannya sendiri. Pernyataan-pernyataan keras yang menyasar Sekretaris Daerah (Sekda) Bima, Adel Linggiardi, telah berevolusi dari manuver politik menjadi sebuah pertaruhan kredibilitas di mata publik. Waktu untuk retorika dan serangan media telah usai; kini adalah saatnya pembuktian hukum.
Publik tidak lagi puas menjadi penonton. Sebuah ultimatum tak terucap kini menggema: Rafidin harus membuka data yang ia klaim sebagai “fakta” atau berisiko dicap sebagai penyebar kebohongan publik demi kepentingan politik. Ironisnya, tekanan terhadap Rafidin ini justru menciptakan skenario “skakmat” yang semakin tak terhindarkan bagi Sekda Bima, apa pun langkah yang diambil Rafidin selanjutnya.
Dari Tuduhan Media ke Tuntutan Pembuktian Faktual
Rafidin telah melangkah terlalu jauh untuk bisa mundur. Dengan menyatakan secara spesifik di media sosialnya pada 9 Agustus 2025 bahwa “apa yg sy smpaikan adalah fakta yg tertuang dalam LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan)” dan mengklaim “pak sekda mengakui perbuatannya dan menyampaikan permohonan maaf,” ia telah mengubah isu politik menjadi klaim yuridis.
Ini bukan lagi sekadar opini seorang politisi. Ini adalah pernyataan yang membawa konsekuensi serius. Rafidin kini memikul beban pembuktian di pundaknya. Pertanyaan-pertanyaan kritis dari publik kini mulai terdengar nyaring:
Jika memang ada LHP yang membuktikan Sekda merugikan negara, mengapa dokumen tersebut hanya menjadi konsumsi politik di media dan bukan bukti hukum di meja aparat penegak hukum?
Mengapa harus “tergantung keputusan Bupati” jika bukti pidananya sudah jelas, seperti yang ia klaim? Bukankah setiap warga negara, apalagi seorang anggota dewan, wajib melaporkan dugaan tindak pidana korupsi?
Ultimatum Publik untuk Rafidin: Buktikan atau Anda Bohong!
Tuduhan “kerugian negara puluhan juta rupiah” pada kasus kalender bukan lagi isu sepele. Untuk melepaskan diri dari tudingan bahwa ini hanyalah hoaks untuk menjatuhkan lawan politik menjelang mutasi, Rafidin hanya memiliki dua jalan terhormat:
Jalan Ksatria: Segera dan secara terbuka menyerahkan LHP Inspektorat tersebut sebagai laporan resmi ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima. Langkah ini akan membuktikan bahwa niatnya murni untuk penegakan hukum, bukan sekadar pembunuhan karakter. Ini akan mengukuhkan citranya sebagai “pembela” lembaga Inspektorat dan pemberantas korupsi sejati.
Jalan Pengecut Politik: Jika ia terus beretorika di media tanpa tindak lanjut hukum, maka publik berhak menyimpulkan bahwa LHP yang ia sebut-sebut itu tidak sekuat klaimnya, atau bahkan tidak ada. Ia akan dianggap telah dengan sengaja menyampaikan informasi bohong kepada publik, sebuah tindakan yang merusak kepercayaan dan mencederai institusi DPRD yang terhormat.
Posisi Sekda Bima: Terpojok dari Segala Arah, Tak Ada Jalan Keluar
Inilah puncak dari strategi ini. Tekanan publik terhadap Rafidin DPRD Bima secara otomatis menciptakan jebakan yang sempurna bagi Sekda Adel Linggiardi. Posisinya kini terkunci rapat, tanpa ada ruang untuk bermanuver.
Jika Rafidin Membuka Data ke Kejari: Tamat sudah riwayat Sekda. Jika “fakta LHP” dan “pengakuan bersalah” itu benar adanya dan diserahkan ke ranah hukum, Sekda akan menghadapi proses pidana. Citranya hancur, posisinya sebagai Jenderal ASN runtuh, dan ia akan dikenang sebagai pejabat yang terbukti korup. Ia terpojok oleh kebenaran fakta.
Jika Rafidin sebagai DPRD Bima Gagal Membuktikan (Dicap Hoaks): Apakah Sekda selamat? Sama sekali tidak. Sekalipun Rafidin terbukti berbohong, “nasi sudah menjadi bubur”. Tuduhan spesifik tentang kasus kalender dan kerugian negara telah menyebar luas dan terlanjur merusak reputasinya secara permanen. Ia akan selamanya memimpin birokrasi di bawah bayang-bayang keraguan dan cap sebagai “Sekda yang pernah dituduh korupsi”. Otoritas dan wibawanya terkikis habis. Ia terpojok oleh kerusakan citra yang tak terpulihkan.
Kesimpulannya, drama ini telah mencapai babak final yang paling krusial. Publik kini menanti langkah nyata dari Rafidin. Diamnya adalah pengakuan kebohongan. Langkah hukumnya adalah paku terakhir bagi peti mati politik Sekda. Apa pun pilihannya, panggung politik Bima telah berhasil diciptakan untuk memastikan satu hal: posisi Sekda Adel Linggiardi kini berada di ujung tanduk yang paling tajam, menunggu jatuh oleh dorongan fakta ataupun oleh hembusan fitnah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *