Bima, 15 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Selama hampir dua dekade, Kecamatan Lambitu dibiarkan menjadi wilayah terbelakang dalam peta pembangunan Kabupaten Bima. Dari jalur berlubang yang tak pernah diperbaiki hingga lumpur pekat yang membendung kehidupan saat hujan tiba, satu kesimpulan menjadi terang: Lambitu sengaja dimarjinalkan, bukan karena tak ada anggaran, tapi karena kalkulasi politik yang kejam dan pragmatis.
Terdiri dari enam desa terpencil Kaboro, Kuta, Sambori, Teta, Londu, dan Kaowa jumlah penduduk Kecamatan Lambitu secara keseluruhan hanya sekitar empat ribu jiwa. Bandingkan dengan Desa Ngali di Kecamatan Belo, yang satu desa saja memiliki populasi lebih dari lima ribu. Fakta ini bukan sekadar statistik, tetapi menjadi bahan pertimbangan utama dalam mekanisme alokasi anggaran pembangunan oleh Pemkab dan DPRD Bima. Semakin sedikit jumlah penduduknya, semakin kecil daya tawar politiknya. Itulah logika brutal yang membentuk keputusan di balik meja rapat anggaran.
Lebih dari itu, karakter geografis Lambitu yang terjal dan tersebar pun menjadi dalih teknokratis untuk mengabaikan wilayah ini. Jarak antar desa di kecamatan ini bisa mencapai tiga kilometer, menyulitkan integrasi infrastruktur dengan biaya yang lebih tinggi. Tapi justru karena tantangan geografis itulah pembangunan harus hadir lebih serius bukan malah mundur teratur. Namun dalam praktiknya, Lambitu dianggap “tidak efisien secara elektoral.” Tidak cukup suara untuk menentukan siapa menang dalam pemilu, maka tidak cukup layak untuk diberikan prioritas pembangunan.
Inilah logika politik yang menempatkan rakyat sebagai angka, bukan manusia. Di Lambitu, kualitas jalan bergantung bukan pada kebutuhan rakyat, melainkan pada kuantitas suara. Infrastruktur jalan yang rusak bukanlah hasil ketidaktahuan, melainkan kebijakan aktif yang menyingkirkan kepentingan wilayah kecil demi melayani pusat suara mayoritas. DPRD dan Pemkab Bima telah berulang kali membuktikan bahwa mereka lebih memilih menyalurkan anggaran ke proyek-proyek simbolik di wilayah strategis, daripada membenahi jalan berlumpur yang menjadi nadi hidup petani, pelajar, dan ibu-ibu desa.
Bagi warga Lambitu, setiap kilometer jalan rusak adalah bentuk nyata pelecehan terhadap hak politik mereka. Pemerintah membangun berdasarkan kalkulasi jumlah, bukan keadilan. Warga dianggap terlalu sedikit untuk diperhitungkan, terlalu jauh untuk dijangkau, terlalu tidak penting untuk diperjuangkan.
Masalah ini bukan hanya soal kebijakan anggaran. Ini adalah wajah terang dari diskriminasi terstruktur, di mana hak konstitusional masyarakat terpinggirkan demi kenyamanan politik penguasa. Selama pendekatan pembangunan tetap berdasar pada prinsip “jumlah suara,” maka wilayah seperti Lambitu akan terus menjadi korban dari sistem yang menjadikan manusia sebagai alat, bukan tujuan.
Keadilan pembangunan tidak mengenal batas suara. Ia mengenal martabat. Dan selama jalan-jalan di Lambitu tetap berlubang, maka lubang yang paling dalam sesungguhnya bukan di tanah, tapi di hati kekuasaan.



							
















