banner 728x250

Ini Tiga Langkah Taktis Publik Untuk Menindak Anggota DPRD Yang Diduga Kuat Rangkap Jabatan

Bima, 3 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Polemik mengenai dugaan rangkap jabatan yang dilakukan oleh seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Bima memasuki babak baru. Setelah aturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), secara tegas melarang anggota dewan untuk memegang jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan, termasuk sebagai Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK), fokus kini beralih dari perdebatan hukum ke strategi penegakan aturan.

Kondisi ini memunculkan wacana di tengah masyarakat mengenai pentingnya sebuah pendekatan yang sistematis untuk memastikan lembaga-lembaga terkait bertindak. Wacana tersebut mengusulkan sebuah strategi pengawasan publik yang komprehensif, yang tidak hanya bergantung pada proses birokrasi, tetapi juga menggabungkan tekanan politik dan opini publik secara terstruktur. Strategi ini dirancang agar dapat dijalankan oleh masyarakat luas untuk mendorong akuntabilitas dari pejabat publik.

Berikut adalah tiga jalur strategis yang diusulkan untuk ditempuh secara paralel guna menyikapi persoalan ini.

1. Langkah Formal Melalui Pelaporan ke Badan Kehormatan Dewan (BKD)

Langkah pertama yang dianggap paling fundamental adalah menempuh jalur formal kelembagaan. Badan Kehormatan Dewan (BKD) merupakan alat kelengkapan dewan yang memiliki wewenang untuk menangani pelanggaran kode etik dan aturan oleh anggota dewan. Pelaporan resmi ke BKD dipandang sebagai pintu masuk untuk memulai proses pemeriksaan secara institusional.

Proses pelaporan ini disarankan agar dibuat sesederhana mungkin agar mudah diakses oleh warga. Pelapor hanya perlu menyusun surat laporan singkat yang ditujukan langsung kepada Ketua BKD. Isi surat tersebut secara jelas menyatakan identitas anggota dewan yang dilaporkan beserta dugaan pelanggarannya, yaitu merangkap jabatan sebagai Ketua PKK yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Untuk memperkuat laporan, pelapor dianjurkan melampirkan bukti-bukti visual yang mudah didapatkan. Bukti tersebut bisa berupa foto-foto kegiatan anggota dewan saat memimpin rapat atau acara resmi PKK, tangkapan layar (screenshot) dari unggahan di akun media sosial yang bersangkutan yang menunjukkan aktivitasnya sebagai Ketua PKK, atau kliping berita dari media lokal. Bukti visual ini dianggap memiliki kekuatan pembuktian awal yang sulit untuk disangkal.

Tujuan utama dari langkah ini adalah untuk menciptakan catatan resmi, sehingga BKD memiliki dasar hukum untuk bertindak dan tidak dapat mengabaikan laporan yang masuk. Dengan adanya laporan formal, proses pengawasan publik terhadap kinerja BKD pun dapat dimulai.

2. Eskalasi Politik Melalui Pelaporan ke Partai Pengusung

Jalur kedua yang dinilai tidak kalah penting adalah eskalasi isu ke ranah politik internal. Seorang anggota dewan memiliki keterikatan dan tanggung jawab kepada partai politik yang mengusungnya. Oleh karena itu, partai politik dianggap memiliki peran krusial dalam menjaga disiplin dan integritas kadernya.

Strategi ini menyarankan agar salinan laporan yang sama, yang telah diserahkan ke BKD, juga dikirimkan kepada pimpinan partai politik di tingkat lokal, seperti Dewan Pimpinan Cabang (DPC) atau Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Lebih jauh lagi, untuk menciptakan tekanan yang lebih kuat, surat tersebut juga ditembuskan langsung ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP) di Jakarta.

Pesan yang ingin disampaikan melalui jalur ini adalah bahwa tindakan kader yang melanggar aturan dapat berdampak negatif pada citra partai secara keseluruhan. Pelanggaran yang dilakukan secara terbuka dianggap sebagai beban elektoral yang dapat merugikan partai pada kontestasi politik di masa depan. Dengan demikian, partai politik diharapkan akan memberikan teguran atau sanksi internal untuk melindungi nama baik dan kepercayaan publik terhadap institusi partai. Manuver ini bertujuan menciptakan tekanan dari dalam yang membuat anggota dewan tersebut merasa tidak nyaman di dalam struktur partainya sendiri.

3. Membangun Tekanan Melalui Opini Publik di Era Digital

Jalur ketiga adalah memanfaatkan kekuatan opini publik sebagai instrumen pengawasan yang efektif, terutama di era digital. Sementara proses formal di BKD dan proses politik di internal partai berjalan, kampanye penyadaran publik secara masif diyakini dapat mengakselerasi penyelesaian masalah.

Taktik yang diusulkan adalah menyebarluaskan bukti-bukti rangkap jabatan melalui berbagai platform media sosial, seperti Facebook, X (dulu Twitter), Instagram, hingga grup-grup percakapan WhatsApp yang memiliki jangkauan luas. Informasi ini harus dikemas dengan narasi yang sederhana, tajam, dan mudah dipahami oleh masyarakat umum, misalnya dengan menyoroti potensi konflik kepentingan atau pengabaian tugas utama sebagai wakil rakyat.

Untuk memperluas jangkauan, setiap unggahan disarankan untuk menandai (tag) akun-akun media massa, baik lokal maupun nasional, akun milik para aktivis, pengamat politik, serta tokoh masyarakat yang berpengaruh. Langkah ini bertujuan agar isu tersebut menjadi perhatian yang lebih luas dan diberitakan secara masif, sehingga menciptakan gelombang tekanan publik.

Tekanan publik yang kuat pada akhirnya akan memaksa BKD dan partai politik untuk menangani kasus ini secara serius dan transparan, karena reputasi kelembagaan mereka juga ikut dipertaruhkan di mata masyarakat.

Secara keseluruhan, gabungan dari tiga jalur ini merepresentasikan sebuah model pengawasan partisipatif dari masyarakat. Meskipun pejabat publik memiliki posisi dan kekuasaan, masyarakat sipil memiliki kekuatan dalam solidaritas, akses informasi, dan kemampuan untuk membentuk opini. Keberhasilan strategi ini akan sangat bergantung pada keberanian dan konsistensi publik dalam menjalankannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *