Bima, 5 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Di sebuah sudut Kecamatan Lambitu, berdiri sebuah papan nama yang menjadi monumen satire paling menyakitkan bagi warganya. Tertulis di sana: “Tanah Milik Polres Bima Kota”. Papan nama itu adalah simbol penyerahan total harapan masyarakat, namun kini ia menjelma menjadi prasasti kealpaan negara. Masyarakat Lambitu telah menghibahkan tanah, Polres Bima Kota telah mengukur dan mensertifikatkannya. Namun, setelah semua pengorbanan itu, yang tersisa hanyalah papan nama bisu dan penantian 20 tahun yang tak kunjung usai.
Pertanyaan fundamental yang kini mengoyak nalar publik bukanlah lagi soal prosedur, melainkan soal hati nurani: Sudah butakah mata Polres Bima Kota atas penderitaan berlapis masyarakat Lambitu?
Drama pelayanan publik ini telah memasuki babak yang paling absurd. Masyarakat Lambitu, yang sudah setiap hari bergelut dengan infrastruktur jalan yang rusak parah, kini harus menelan pil pahit pengabaian dari institusi yang seharusnya menjadi pelindung mereka. Mereka telah melakukan segala yang diminta: menyiapkan dan menghibahkan lahan untuk pembangunan Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) yang mereka dambakan.
Polres Bima Kota pun merespons dengan langkah-langkah administratif yang meyakinkan: tanah itu diterima, diukur, dan bahkan sertifikatnya telah diterbitkan atas nama institusi kepolisian. Namun, di situlah semua “kemajuan” itu berhenti. Sertifikat itu seolah hanya menjadi bukti kepemilikan aset, bukan bukti kepemilikan tanggung jawab. Tanah yang seharusnya menjadi cikal bakal rasa aman, kini justru menjadi lahan subur bagi rasa kecewa dan ketidakpercayaan.
Ironi ini semakin diperparah dengan fakta bahwa Pemerintah Kecamatan Lambitu telah berinisiatif menyediakan ruang kantor sementara untuk dijadikan pos polisi. Sebuah solusi pragmatis untuk mengisi kekosongan sembari menunggu pembangunan gedung permanen. Namun, sayangnya, kantor yang tersedia itu kosong melompong. Tak ada satu pun aparat berseragam yang bersedia menempatinya.
“Ini adalah puncak dari sandiwara ini,” ujar seorang tokoh pemuda Lambitu yang enggan disebutkan namanya. “Alasan apalagi yang bisa mereka berikan? Anggaran belum ada untuk membangun gedung? Baiklah. Tapi ini, ada kantor gratis yang disediakan, mengapa tidak digunakan? Apakah kantor sementara itu kurang mewah, ataukah melayani masyarakat Lambitu memang tidak ada dalam prioritas kerja mereka?”
Sikap Polres Bima Kota ini mengirimkan pesan yang sangat jelas dan brutal: penderitaan masyarakat Lambitu adalah masalah masyarakat Lambitu sendiri. Sulitnya mengurus SKCK, lambatnya penanganan laporan kriminal, dan rasa was-was yang konstan akibat ketiadaan aparat adalah narasi yang seolah tidak cukup menarik untuk menggerakkan roda birokrasi kepolisian.
Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI) yang turut mengawal aspirasi ini menegaskan, kondisi ini sudah melampaui batas kelalaian.
“Ketika masyarakat sudah berkorban dengan memberikan asetnya yang paling berharga, yaitu tanah, dan negara melalui Polres Bima Kota sudah menerimanya, maka telah lahir sebuah perjanjian tak tertulis,” tegas Direktur LBHPRI, Imam Muhajir. “Mengabaikannya adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Jangan sampai papan nama ‘Milik Polres Bima Kota’ itu dibaca oleh warga sebagai: ‘Wilayah Ini Milik Polisi, Tapi Penderitaan Tetap Milik Anda’.”
Publik Lambitu tidak lagi bertanya “kapan Mapolsek dibangun?”. Pertanyaan mereka telah berevolusi menjadi: “Mengapa?”. Mengapa mata dan hati nurani sebuah institusi pelindung dan pengayom justru terpejam begitu rapat di atas tumpukan penderitaan warganya sendiri? Jangan-jangan, bagi mereka, sertifikat tanah itu memang lebih berharga daripada nyawa dan rasa aman masyarakat yang namanya tercantum dalam wilayah hukum mereka.




















