banner 728x250

Jabatan Ganda Istri Bupati Bima: Kursi Pimpinan DPRD dan Ketua PKK Kini Berada di Ujung Tanduk

BIMA, 12 Agustus 2025 || Kawah NTB – Peta kekuasaan di Kabupaten Bima kini diwarnai sorotan tajam menyusul posisi ganda yang dipegang oleh Ibu Nurmi Suciyanti, istri dari Bupati Bima, Ady Mahyudi. Saat ini, Ibu Murni Suciyanti secara bersamaan menjabat sebagai Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Bima dan Ketua Tim Penggerak (TP) PKK Kabupaten Bima. Situasi ini bukan lagi sekadar isu etika, melainkan telah memasuki jurang pelanggaran hukum serius dengan risiko sanksi yang fatal.

Jabatan ganda ini menciptakan sebuah paradoks kekuasaan yang problematis: sebagai pimpinan legislatif, ia bertugas mengawasi dan menyetujui anggaran. Namun, sebagai Ketua PKK, ia adalah pimpinan organisasi yang menjadi salah satu penerima utama alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut. Ia secara efektif menjadi wasit dan pemain sekaligus dalam pengelolaan keuangan daerah.

Analisis Yuridis: Pelanggaran Terang-benderang UU MD3

Persoalan ini dijawab tuntas oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Regulasi ini secara tegas dirancang untuk mencegah konflik kepentingan dan menjaga kemurnian fungsi legislatif.

Pasal-pasal dalam UU MD3 secara eksplisit melarang anggota DPRD merangkap jabatan sebagai pimpinan atau pejabat pada “badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.”

Faktanya, TP-PKK adalah organisasi yang operasional dan seluruh program kerjanya bergantung pada dana hibah yang bersumber dari APBD. Dengan demikian, status TP-PKK secara hukum tidak terbantahkan masuk dalam kategori “badan lain” yang dimaksud oleh undang-undang. Jabatan Ibu Murni Suciyanti sebagai Ketua TP-PKK yang mengelola dana APBD, sementara ia juga menjabat sebagai Wakil Ketua II DPRD yang menyetujui alokasi dana tersebut, merupakan bentuk pelanggaran langsung terhadap larangan dalam UU MD3.

Risiko Fatal: Ancaman Pemberhentian dari Kursi Dewan

UU MD3 tidak menyediakan ruang toleransi untuk pelanggaran rangkap jabatan semacam ini. Konsekuensi hukumnya diatur dengan sangat jelas dan tegas. Pasal 237 ayat (2) UU MD3 (dan pasal-pasal turunannya untuk DPRD) menyatakan:

“Anggota DPR[D] yang terbukti melanggar ketentuan … dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR[D].”

Ancaman sanksi ini bukanlah teguran administratif ringan, melainkan sanksi maksimal berupa pencopotan dari jabatannya sebagai wakil rakyat. Dengan demikian, Ibu Murni Suciyanti saat ini berada dalam posisi yang sangat berisiko. Jika terbukti dan diproses sesuai mekanisme hukum yang berlaku, ia dapat kehilangan kursinya sebagai Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Bima.

Kasus ini menjadi pertaruhan besar bagi integritas tata kelola pemerintahan di Bima. Penegakan aturan ini adalah sebuah keharusan untuk memastikan fungsi pengawasan legislatif berjalan independen dan untuk membuktikan bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum, bahkan di lingkaran terdekat kekuasaan eksekutif sekalipun. Publik kini menanti apakah aturan akan ditegakkan tanpa pandang bulu.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *