banner 728x250

Jalan Lambitu Bukan Cuma Retak Secara Fisik, Tapi Juga Retak Secara Konstitusional

Bima, 22 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Saat suara pemuda dan warga Lambitu makin lantang menggemakan tuntutan perbaikan jalan yang telah rusak selama 20 tahun, giliran Imam Muhajir SH. MH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI), angkat bicara. Ia hadir bukan dengan emosi sesaat, tapi dengan kritik strategis, analisa hukum yang tajam, dan satire elegan yang merobek diamnya pemerintah Kabupaten Bima.

“Negara ini katanya demokratis. Tapi nyatanya, rakyat Lambitu harus mendaki lumpur sebelum bisa mendaki tangga keadilan,” ucap Imam, membuka pernyataan.

Menurut Imam, jalan rusak Lambitu bukan sekadar isu infrastruktur. Ia adalah indikator kegagalan negara dalam menjalankan prinsip keadilan distributif dan pelayanan publik sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28H UUD 1945.

“Hak atas mobilitas yang aman itu bukan bonus, tapi bagian dari hak hidup layak. Dan jika 20 tahun jalan dibiarkan rusak, maka bukan hanya batu yang retak konstitusi pun ikut patah di atasnya,” tegasnya.

Ia menyebut bahwa pembiaran ini tidak bisa ditutupi dengan pidato moral dan slogan pembangunan. Pemerintah Kabupaten Bima, terutama Bupati saat ini, tidak punya celah untuk berkelit, sebab sumpah jabatan yang mereka ucapkan telah mengikat mereka pada tanggung jawab penuh sejak hari pertama menjabat.

Imam menyindir tajam narasi “masa adaptasi” yang sering dipakai untuk membela pemimpin baru.

“Jika lima bulan cukup untuk selfie, simbolisasi, dan renovasi kantor, maka lima bulan juga cukup untuk menggerakkan satu langkah menuju perbaikan jalan Lambitu. Karena rakyat tidak berorientasi pada kalender birokrasi, mereka berorientasi pada penderitaan yang tidak pernah dijadwalkan.”

Menurutnya, semboyan “Perubahan” dan “Bima Bermartabat” hanya akan punya nilai jika mampu melawan warisan kelumpuhan birokrasi dan memutus siklus peminggiran.

Imam juga menyoroti dalih demografis yang menyamakan jumlah penduduk dengan nilai strategis pembangunan.

“Apa kita ini sedang mengelola negara atau sedang berdagang suara? Kalau akses pembangunan ditentukan oleh berapa banyak orang di satu wilayah, lalu kenapa konstitusi tidak ditulis dalam grafik penduduk?”

Baginya, Martabat Bima tidak akan tumbuh dari bangunan megah di pusat kota, tapi dari *mbagaimana pemerintah memperlakukan kecamatan yang paling sunyi secara politik. Jalan Lambitu bukan hanya permukaan tanah ia adalah cerminan struktur etika kekuasaan.

“Kita tidak bisa terus membangun Bima berdasarkan siapa yang lebih mudah dijangkau oleh kepentingan politik. Kita harus mulai membangun dari tempat yang selama ini sengaja dijauhkan,” pungkasnya.

Imam Muhajir menutup pernyataan dengan satire yang membekas: “Kalau martabat Bima diukur dari jumlah baliho dan warna brosur program, maka rakyat Lambitu berhak menulis ulang definisi pembangunan. Karena sejauh ini, yang kami lihat bukan perubahan tapi pertahanan terhadap kenyamanan lama.”

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *