banner 728x250

Jalan Lambitu Rusak dan Kebijakan Publik yang Amnesia

Bima, 22 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Sudah dua dekade jalan penghubung utama di Kecamatan Lambitu rusak parah. Lubang-lubang tak pernah ditambal, lumpur tak pernah dikeringkan, dan penderitaan rakyat tak pernah dicatat dalam agenda resmi. Tapi setiap tahun, pemerintah bicara tentang visi, misi, dan program strategis. Dalam pusaran itulah lahir satu pertanyaan publik: “Apa sebenarnya isi kepala para perancang kebijakan di Kabupaten Bima?”

Kebijakan publik dalam teori dan praktik yang sehat adalah seni mendengar suara paling pelan dan menjawab kebutuhan paling mendesak. Tapi di Kabupaten Bima, yang terjadi justru sebaliknya:

– Jalan Lambitu rusak selama 20 tahun, belum ada kebijakan prioritas.

– Program pembangunan rutin berjalan, tapi jalan yang mengantar rakyat ke layanan publik justru dibiarkan rusak.

Pemerintah tahu data. Pemerintah punya musrenbang. Pemerintah punya rapat koordinasi dan studi kelayakan. Tapi jalan Lambitu tetap jadi penanda bahwa kebijakan di daerah ini lebih sibuk berpidato daripada berbuat.

Setiap tahun, kata-kata seperti “integrasi”, “konektivitas”, “penguatan layanan dasar”, dan “efisiensi fiskal” dipajang di papan presentasi. Tapi rakyat Lambitu hanya butuh satu kata: ASPAL.

Dan ketika kata itu tidak pernah muncul dalam APBD, maka itu bukan kekurangan teknis, tapi kejahatan kebijakan.

Kalau Jalan Lambitu Tidak Masuk Prioritas, Apa Sebenarnya Prioritas Pemerintah?

Mungkin yang masuk prioritas adalah:

– Memperindah taman kota, agar bisa difoto.

– Merenovasi kantor dinas, agar ruangan rapat makin nyaman.

– Mengadakan pelatihan-pelatihan dengan anggaran besar, tapi output minim.

 

Karena rupanya di Kabupaten Bima, jalan rusak tidak dianggap seksi. Lubang tidak menghasilkan pencitraan. Dan penderitaan rakyat tidak cukup layak untuk masuk rencana kerja tahunan.

Rakyat tidak butuh seminar. Rakyat tidak butuh jargon.

Rakyat hanya butuh jalan yang bisa dilewati motor, ambulans, dan harapan.

Dan jika kebijakan publik tidak sanggup menjawab itu, maka yang rusak bukan cuma jalan, tapi pikiran birokrasi itu sendiri.

Bung Ipul menyebutnya sebagai “kebijakan kosmetik” tampak cantik di atas kertas, tapi ompong di lapangan.

“Kalau pemerintah bilang ini soal anggaran, kami bertanya: Apakah nyawa kami tidak masuk tabel prioritas?” ujarnya.

Jika pemerintah ingin dipercaya, maka mulailah dengan memperbaiki jalan.

Karena tak ada kebijakan publik yang bisa dibenarkan jika ia gagal menjawab tuntutan paling dasar.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *