Bima, 22 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Dalam wawancara mendalam bersama Imam Muhajir SH. MH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI), sorotan atas jalan rusak Lambitu tidak hanya menyentuh ranah hukum dan sosial, tetapi menembus jantung kalkulasi politik. Kali ini, Imam Muhajir meminjam kacamata pemikiran politik klasik: Niccolò Machiavelli, sang maestro strategi kekuasaan.
“Apa yang terjadi di Lambitu bukan sekadar kelalaian birokrasi. Ia adalah hasil dari kepemimpinan yang terobsesi pada kalkulasi stabilitas politik bukan pada keadilan. Dan Machiavelli, kalau hidup di Bima hari ini, mungkin tersenyum melihat bagaimana para pemimpin menerapkan taktiknya dengan sangat patuh,” ujar Imam Muhajir, tajam.
Menurut Machiavelli dalam Il Principe, pemimpin sejati harus tahu kapan harus terlihat baik dan kapan harus bertindak kejam demi menjaga kekuasaan. Imam Muhajir menyebut, para elite lokal telah menafsirkan ini menjadi “pembangunan selektif” hanya menaruh anggaran di wilayah yang aman secara elektoral atau menguntungkan secara patronase.
“Lambitu tidak berada dalam lingkaran patron. Maka biarkan jalannya hancur. Karena memperbaikinya tidak menambah pengaruh politik, dan tidak menguntungkan kekuasaan. Ini bukan pemerintahan, ini perusahaan pengelola suara,” kritiknya.
Machiavelli pernah berkata bahwa pemimpin harus memperbaiki luka sebelum rakyat menyadarinya. Tapi Imam menyoroti bahwa Lambitu dianggap terlalu tenang, terlalu kecil, dan terlalu jinak untuk menimbulkan bahaya politik.
“Justru karena Lambitu tidak gaduh, maka jalannya diabaikan. Ini adalah paradoks kekuasaan: yang berteriak diberi tambalan, yang diam dibiarkan berdarah.”
Imam menyindir bahwa jika penyusunan anggaran daerah didikte oleh filsafat Machiavelli, maka bab tentang pemerataan akan berubah menjadi bab tentang investasi stabilitas kekuasaan.
“Pemerintah tak pernah bilang Lambitu tidak penting. Mereka hanya tidak menganggapnya cukup membahayakan. Maka jalan tetap rusak, tapi brosur tetap bergambar senyum pemimpin.”
Ia mengkritik bahwa slogan “Bima Bermartabat” bisa saja hanya strategi kosmetik untuk menutupi strategi Machiavellistik: pastikan loyalis puas, pastikan lawan disabotase, dan pastikan wilayah-wilayah sunyi tidak membebani APBD.”
Imam menyerukan bahwa jika kepemimpinan ingin benar-benar bermartabat, maka harus melawan godaan Machiavelli yang paling gelap: membangun bukan demi kekuasaan, tapi demi keberlangsungan hidup rakyat.
“Machiavelli boleh jadi memberi resep bertahan. Tapi pemimpin yang bernyali tahu bahwa sejarah tidak mencatat siapa yang paling licik tapi siapa yang paling berani merawat wilayah yang paling terpinggirkan.”
Ia menutup wawancaranya dengan satire yang mengiris: “Kalau Lambitu harus menunggu sampai penduduknya cukup banyak, cukup marah, atau cukup berguna secara politik sebelum diperbaiki, maka itu bukan pembangunan—itu adalah manajemen pengabaian. Dan jika Machiavelli dijadikan pegangan, LBHPRI berdiri sebagai pengingat: hukum adalah pedang rakyat, bukan alat pedagang kekuasaan.”



							
















