Bima, 14 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Di tengah kemandekan struktural dan pembiaran atas kerusakan infrastruktur jalan selama lebih dari dua dekade, gerakan sipil mulai berakar kuat di Lambitu. Para pemuda desa bersama Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI) kini memimpin perlawanan sipil yang tak hanya menuntut fisik jalan, tetapi menggugat komitmen hukum pemerintahan daerah yang selama ini absen dalam mengatur keadilan pembangunan.
Langkah konsolidasi ini bukan respons emosional, melainkan manifestasi dari kesadaran konstitusional rakyat terhadap hak mobilitas, keselamatan, dan akses ekonomi. Para peserta menyadari bahwa jalan yang rusak bukan hanya soal teknis Dinas PUPR, tetapi menjadi indikator telanjang kegagalan sistem administrasi publik di tingkat kabupaten. Sehingga yang digugat bukan batu dan lumpur, tetapi kelambanan legislasi, keheningan eksekutif, dan kelalaian dalam formulasi kebijakan publik yang berdampak pada hidup manusia secara langsung.
“Kami tidak turun ke jalan untuk berteriak. Kami bangun konsolidasi untuk membuktikan bahwa rakyat bisa membaca hukum, bisa menuntut hak, dan bisa membuat pemerintah mendengarkan dengan cara yang bermartabat,” tegas salah satu penggagas dari unsur pemuda Lambitu.
Dalam dialog hukum internal LBHPRI yang digelar bersama pemuda desa, langkah taktis telah dirancang secara berjenjang. Dari audiensi resmi kepada Dinas PUPR sebagai pelaksana teknis, hingga dialog terbuka yang akan diarahkan kepada BAPPEDA sebagai pengendali prioritas, Bupati dan Wakil Bupati sebagai penanggung jawab eksekutif, dan DPRD sebagai institusi anggaran dan pengawasan. Jika jalur aspirasi ini ditolak mentah atau digeser dengan jawaban normatif, maka LBHPRI telah menyusun alternatif konstitusional berupa gugatan administratif dan pengawasan litigasi kebijakan publik.
Karena dalam kacamata hukum tata negara, perbaikan infrastruktur bukan pilihan pemerintah, tetapi kewajiban konstitusional yang melekat pada jabatan, terutama ketika keselamatan jiwa warga telah nyata dikorbankan, seperti dalam kasus tragis kematian dua bayi kembar tahun 2024 akibat akses medis yang tertutup jalan rusak.
“Setiap kerikil yang membuat ambulans terhenti, setiap lubang yang menjatuhkan petani dari mobil angkut, bukan lagi fenomena itu fakta hukum. Pemerintah harus disadarkan bahwa ketidakmampuan memutuskan prioritas pembangunan adalah bentuk pengabaian terhadap hak dasar warga negara,” ujar LBHPRI dalam pernyataan resminya.
Konsolidasi ini bukan ekspresi lokal semata. Ia membuka panggung bahwa suara pinggiran bisa menggugat dari ruang hukum yang sah dan bermartabat. Lambitu bukan objek penderitaan ia telah menjadi subjek konstitusional yang sadar, terorganisir, dan siap bertindak.
Jika pemerintah daerah masih berlindung di balik kata “evaluasi” tanpa aksi nyata, maka konsolidasi Lambitu hari ini adalah permulaan dari gerakan konstitusional yang bisa menggoyang panggung kebijakan. Karena jalan bukan proyek ia adalah jalur kehidupan, dan jika jalur itu rusak, maka negara harus diperkarakan.
Lambitu sedang mengajar kita semua: bahwa hukum bukan hanya milik sarjana dan pejabat ia milik rakyat yang berani mengucapkannya di tanah yang belum pernah diaspal.



							
















