BIMA, 25 Agustus 2025 || Kawah NTB – Panggung politik Kabupaten Bima kini tak ubahnya sebuah pertunjukan komedi tragis. Di saat publik menuntut akal sehat dan penegakan hukum, para elite justru menyuguhkan drama kebisuan yang memuakkan. Memasuki pekan kedua sejak skandal “mantra sakti” terungkap, Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Bima masih membeku, seolah terhipnotis oleh sabda “Itu gampang diatur” yang pernah dilontarkan Wakil Ketua II DPRD, Murni Suciyanti. Sikap diam BK ini menjadi bahan bakar yang menyulut gelombang kemarahan publik yang semakin besar.
Keberanian Murni Suciyanti, istri Bupati Bima Ady Mahyudi, untuk menduduki dua kursi basah sebagai Pimpinan Legislatif dan Ketua TP-PKK kini tak lagi dilihat sebagai konflik kepentingan semata. Ini adalah deklarasi terbuka arogansi kekuasaan; sebuah pesan pongah bahwa hukum dan etika bisa dengan mudah dilipat dan dimasukkan ke dalam saku. Lonjakan anggaran TP-PKK sebesar 200%, dari Rp 500 juta menjadi Rp 1,5 Miliar, adalah bukti nyata betapa ampuhnya mantra tersebut saat dirapalkan dari singgasana kekuasaan ganda.
Skizofrenia Kekuasaan yang Dilegalkan
Mari kita berhenti bersandiwara. Apa yang dipertontonkan di Kabupaten Bima adalah sebuah bentuk skizofrenia kekuasaan yang akut dan dilembagakan. Pagi hari, Nyonya Wakil Ketua Dewan mengenakan jubah legislator, memegang palu untuk mengawasi, mengkritisi, dan menyetujui anggaran daerah dengan sumpah jabatan di pundaknya. Siang hari, jubah itu ia tanggalkan, berganti dengan seragam Ketua TP-PKK yang menjadikannya penerima manfaat utama dari anggaran yang baru saja ia setujui.
“Ini adalah pembangkangan konstitusional yang terang-terangan,” pekik Imam Muhajir, Direktur LBH Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI), dalam pernyataan resminya. “UU MD3 bukan sekadar kumpulan pasal, itu adalah benteng penjaga marwah demokrasi. Ketika seorang pimpinan dewan merangkap jabatan sebagai pengelola dana APBD, benteng itu telah dirobohkan dengan sengaja. Ia menjadi hakim sekaligus terdakwa, pengawas sekaligus pemain. Dimana letak kehormatan lembaga ini?”
Pertanyaannya kini lebih tajam: Apakah Badan Kehormatan DPRD Bima juga ikut menganggap UU MD3 ini “gampang diatur”? Sikap bungkam mereka hingga hari ini adalah sinyal berbahaya bahwa institusi yang seharusnya menjadi penjaga etika justru telah menjadi tameng bagi pelanggaran etika itu sendiri.
Saat Rakyat Tak Lagi Bisa Diatur
Jika Murni Suciyanti berpikir semua hal “gampang diatur”, ia salah besar. Rakyat tidak segampang itu diatur. Bisik-bisik di warung kopi kini telah berubah menjadi pekikan di ruang publik. Publik dan Masyarakat Kabupaten Bima pada khususnya secara tegas menuntut diakhirinya dagelan politik ini.
“Kami muak! Uang Rp 1,5 Miliar itu bukan warisan keluarga bupati. Itu adalah keringat petani, nelayan, dan pedagang kecil di Bima!” Ungkap Imam. “Kami tidak butuh pemimpin yang sibuk mengatur kekuasaan untuk dirinya sendiri. Kami butuh wakil rakyat yang benar-benar bekerja untuk rakyat.”
Kesabaran publik ada batasnya. Mantra “gampang diatur” mungkin bisa menundukkan birokrasi dan membungkam institusi, tetapi tidak akan pernah bisa membungkam suara rakyat yang telah dirugikan.
Pilih Tahta atau Mundur!
Di tengah kerumitan hukum dan kebisingan politik, solusinya sebenarnya sangat sederhana dan cerdas, hanya dibutuhkan sedikit kenegarawanan dan kerendahan hati sesuatu yang tampaknya langka saat ini. Murni Suciyanti kini berada di persimpangan jalan kehormatan.
Pilihan Pertama: Jika beliau merasa panggilan jiwanya adalah menjadi seorang legislator, mengabdi pada konstituen yang telah memilihnya, dan menjaga marwah fungsi pengawasan DPRD, maka segeralah letakkan jabatan sebagai Ketua TP-PKK. Biarkan posisi terhormat itu diisi oleh figur lain yang tidak memiliki konflik kepentingan.
Pilihan Kedua: Jika hasrat terbesarnya adalah mengabdi sebagai istri bupati, memimpin gerakan PKK dan membangun masyarakat dari basis keluarga, maka itu adalah pilihan yang mulia. Namun, segeralah ajukan pengunduran diri dari kursi Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Bima. Kembalikan mandat itu kepada partai dan rakyat.
Tidak ada pilihan ketiga. Kekuasaan bukanlah prasmanan di mana semua hidangan bisa diambil sesuka hati. Ini adalah amanah yang menuntut pilihan dan pengorbanan. Jangan rakus dan serakah! Memilih salah satu adalah bukti kedewasaan politik. Memaksakan keduanya adalah manifestasi ketamakan yang akan menghancurkan kepercayaan publik.
Publik menunggu keputusan ksatria. Apakah Murni Suciyanti akan memilih jalan kehormatan, atau terus berpegang pada dua tahta dengan risiko dilengserkan secara tidak hormat? Jawabannya akan menentukan warisan politiknya dan masa depan tata kelola pemerintahan di Kabupaten Bima.



							
















