Bima, 26 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Jarum jam terus berdetak, namun Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima seolah membeku dalam kebisuan yang memekakkan. Hingga hari ini, Sabtu, 26 Juli 2025, dua hari penuh setelah surat audiensi terbuka dilayangkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI), tak ada satu pun respons, konfirmasi, atau bahkan sinyal itikad baik yang diterima. Keheningan ini, menurut LBHPRI, bukanlah sekadar kelalaian administrasi, melainkan sebuah pernyataan sikap yang arogan dan pengecut.
Bola panas yang dilemparkan pada Kamis lalu kini tergantung di udara, diabaikan oleh institusi yang seharusnya paling responsif terhadap suara keadilan. Bung Mhikel, dari Divisi Non Litigasi LBHPRI, yang sejak awal menjadi motor pengkritik paling vokal, menyikapi kebungkaman ini dengan nada yang lebih tajam dan tak kenal kompromi.
“Dua hari telah berlalu. Dua kali 24 jam rakyat menunggu sebuah jawaban. Dan apa yang kami dapatkan? Keheningan. Mari kita sebut ini dengan nama yang sebenarnya: ini adalah taktik ‘ulur waktu’ yang pengecut dari sebuah institusi yang terpojok,” sembur Bung Mhikel dengan nada geram. “Mereka pikir dengan diam, isu ini akan layu? Mereka pikir kemarahan publik bisa diredam oleh kalender? Mereka salah besar. Keheningan mereka justru menjadi bahan bakar yang menyulut api kecurigaan kami semakin besar.”
Menurut Mhikel, setiap detik penundaan tanpa alasan yang jelas adalah bukti tambahan yang memperkuat tudingan adanya permufakatan jahat. Baginya, Kejari Raba Bima kini sedang mempertontonkan sebuah drama yang memuakkan: drama tentang kekuasaan yang anti-kritik dan alergi terhadap transparansi.
“Apa yang begitu sulit dari sekadar menjawab surat kami? Apakah perlu rapat pimpinan tujuh hari tujuh malam hanya untuk menentukan jadwal sebuah dialog? Ataukah mereka sedang sibuk menyusun skenario kebohongan baru untuk menutupi jejak ‘donatur’ Rp200 juta itu?” tanya Mhikel secara retoris. “Jangan salah, kami tidak meminta belas kasihan. Kami menuntut hak konstitusional kami untuk tahu. Diamnya Kejari adalah jawaban paling jelas yang bisa mereka berikan: ‘Ya, kami memang punya sesuatu yang disembunyikan’.”
Bung Mhikel menegaskan bahwa kesabaran publik ada batasnya. LBHPRI tidak akan menunggu tanpa batas waktu. Jika hingga awal pekan depan surat permohonan audiensi terbuka itu terus diabaikan, maka LBHPRI akan menganggapnya sebagai penolakan secara de facto.
“Jika mereka memilih bungkam, maka kami akan memilih jalanan. Jika pintu dialog ditutup rapat, maka kami akan membuka forum yang lebih besar di hadapan publik Bima. Keheningan ini akan kami catat sebagai bukti formal pengabaian tugas dan penolakan terhadap partisipasi publik. Ini bukan lagi soal M alias O semata. Ini adalah pertaruhan tentang apakah Kejari Raba Bima masih menjadi lembaga penegak hukum, atau sudah beralih fungsi menjadi firma hukum bagi para koruptor,” tegasnya.
Jam pasir kesabaran rakyat Bima, kata Mhikel, hampir habis. Sikap diam Kejari Raba Bima tidak akan melindungi mereka. Sebaliknya, itu hanya menggali lubang yang lebih dalam, menyeret marwah institusi kejaksaan ke titik terendah di mata masyarakat yang semakin muak dengan sandiwara hukum.
“Kami sampaikan pesan ini dengan sangat jelas: Berhentilah bersembunyi di balik tembok kebisuan. Hadapi kami, hadapi rakyat. Atau sejarah akan mencatat kalian sebagai komprador keadilan yang paling memalukan di tanah Bima,” pungkas Bung Mhikel.








































