BIMA, 4 November 2025 || kawah Ntb – Kesabaran publik Bima telah habis. Drama lima tahun kasus korupsi RSUD Sondosia senilai Rp 431 juta telah mencapai titik didih. Kejaksaan Negeri (Kejari) Bima, institusi yang seharusnya menjadi algojo bagi penjahat kerah putih, kini justru dituding telah menjelma menjadi Benteng Baja dan Sarang Mafia tempat berlindung para koruptor. Tiga nama tersangka, Mahfud, Kadarmansyah, dan terutama Yulian Alveros, seolah mendapat karpet merah kebal hukum dari oknum-oknum di Kejari Bima.
Sorotan tajam kini diarahkan pada salah satu tersangka utama, Yulian Alveros. Sebagai sosok yang diduga kuat memiliki peran otak intelektual dalam skandal penyelewengan dana Rp 431 juta ini, muncul kecurigaan bahwa Alveros adalah poros utama yang bermain mata dengan pihak internal Kejari Bima.
Publik mencium bau amis transaksi tersembunyi. Bagaimana mungkin sebuah kasus dengan bukti yang disebut-sebut penyidik kepolisian sudah setebal tumpukan dokumen dan diperkuat oleh kesaksian ahli, terus-menerus mental bolak-balik (P19) selama lima tahun? Ini bukan lagi soal teknis yuridis, ini adalah pembangkangan terang-terangan terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Dugaan kesengajaan Kejari Bima untuk mengubur kasus ini semakin tak terbantahkan pasca bocornya petunjuk P19 terbaru Jaksa Peneliti. Mereka dilaporkan meminta penyidik kepolisian untuk membuktikan rincian pembagian jatah uang haram Rp 431 juta.
“Ini permintaan paling konyol, paling absurd, dan paling mencederai nalar hukum dalam sejarah penanganan korupsi di Bima. Jaksa minta polisi buktikan si A dapat berapa, si B dapat berapa. Itu materi pembuktian di pengadilan, bukan syarat administrasi kelengkapan berkas!”
Permintaan yang di luar nalar ini adalah sinyal bahaya yang jelas, berkas ini memang tidak boleh lolos ke pengadilan. Logika sederhana pun runtuh. Untuk menghukum seorang koruptor di pengadilan hanya butuh dua alat bukti (Pasal 183 KUHAP), namun Jaksa di Bima justru meminta bukti tambahan yang sifatnya Mustahil untuk dipenuhi di tahap penyidikan. Ini adalah taktik penguluran waktu yang memuakkan.
Yang membuat amarah publik memuncak adalah fakta telak bahwa para tersangka sudah mengembalikan uang kerugian negara sebesar Rp 230 juta. Pengembalian ini, dalam kacamata hukum, adalah Pengakuan Bersalah (Mens Rea) yang tak terbantahkan bahwa tindak pidana korupsi memang benar terjadi.
Namun, alih-alih menggunakan fakta ini sebagai amunisi pamungkas untuk segera menjebloskan para tersangka ke balik jeruji, Kejari Bima justru mengabaikannya mentah-mentah. Mereka lebih memilih mencari-cari alasan teknis yang dibuat-buat, yang secara substansi melindungi para pelaku.
Publik Bima kini menuntut Kejaksaan Agung RI dan Kejati NTB untuk segera turun tangan! ‘Tembok Perlindungan’ di Kejari Bima harus segera diruntuhkan! Bersihkan institusi tersebut dari oknum-oknum yang diduga kuat telah merusak integritas penegakan hukum. Kepercayaan rakyat kini di ujung tanduk, apakah hukum di Bima benar-benar tumpul ke atas, dan tajam karena dilindungi benteng dari dalam? Jawabannya, nampaknya, semakin mengarah pada kenyataan pahit.



							
















