banner 728x250

Kejari Raba Bima Di Persimpangan Integritas: Benarkah Dalang Kur Bsi Tak Tersentuh?

Bima, 28 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Dinding kebisuan yang dibangun Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima pasca tudingan keras terhadap M alias O dalam skandal korupsi KUR BSI, kini mulai retak di bawah tekanan logika publik yang semakin tajam. Isu ini telah berevolusi. Pertanyaan publik tidak lagi sebatas “Apakah Kejari loyo?”, melainkan telah sampai pada sebuah adagium hukum universal yang mengerikan: jangan-jangan, dengan membiarkan dalang utama bebas, Kejari Raba Bima tengah mempraktikkan bentuk persekongkolan paling senyap.

Judul di atas bukanlah sebuah tuduhan kosong, melainkan sebuah prinsip hukum dan moral yang menjadi dasar dari keadilan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya pada pasal tentang “penyertaan” (Pasal 55 dan 56), dijelaskan bahwa mereka yang memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan, dapat turut dipidana. Dalam konteks ini, keengganan atau kelambanan aparat penegak hukum untuk menjerat otak kejahatan (auctor intellectualis) dapat ditafsirkan sebagai “memberi kesempatan” bagi sang penjahat untuk lolos dan bagi kejahatan itu sendiri untuk tidak terungkap tuntas.

Bung Mhikel dari LBHPRI, yang konsisten mengawal kasus ini, menyatakan bahwa sikap diam Kejari adalah jawaban yang paling lantang. “Ketika Anda memiliki semua petunjuk yang mengarah pada kepala ular, namun Anda terus bermain-main dengan ekornya, itu bukan lagi soal keberanian atau kompetensi. Itu adalah pilihan sadar,” tegasnya. “Publik akan bertanya, pilihan sadar ini dibuat atas dasar apa? Apakah ada ‘deal’ di ruang gelap? Ataukah ada perintah dari kekuatan yang lebih tinggi? Apapun alasannya, membiarkan M alias O tidak tersentuh sambil memenjarakan pion-pionnya adalah sebuah sandiwara hukum yang menghina akal sehat.”

Sandiwara Hukum dan Erosi Kepercayaan

Mari kita lihat proses ini sebagai sebuah pertunjukan. Para tersangka yang sudah ditahan adalah pemeran pembantu. Pengembalian uang 200 juta adalah properti panggung yang digunakan untuk membangun citra “kooperatif”. Namun, sutradara dan penulis naskah, yakni M alias O, justru diberi posisi nyaman sebagai penonton di barisan VVIP dengan label “saksi”.

Kejari Raba Bima, dalam hal ini, bertindak sebagai penyelenggara acara. Jika mereka terus melanjutkan pertunjukan yang cacat logika ini, maka mereka secara efektif telah bersekongkol dengan sutradara untuk menipu penonton, yaitu masyarakat Bima. Mereka turut serta dalam kejahatan menutupi kejahatan yang lebih besar.

Sikap ini secara perlahan namun pasti akan menggerogoti wibawa institusi hingga ke akarnya. Kepercayaan publik adalah nyawa bagi lembaga penegak hukum. Jika nyawa itu hilang, maka gedung Kejaksaan yang megah itu tak lebih dari sebuah bangunan kosong tanpa ruh keadilan. Kasus ini bukan lagi sekadar perkara korupsi KUR BSI; ini adalah pertaruhan martabat dan integritas Kejari Raba Bima di mata rakyat yang mereka layani.

Panggilan Terakhir Sebelum Kepercayaan Lenyap

Kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Raba Bima, waktu untuk berlindung di balik alasan “proses” atau “strategi penyidikan” telah habis. Setiap jam yang berlalu di mana M alias O masih berstatus saksi adalah paku yang ditancapkan pada peti mati kepercayaan publik.

Rakyat Bima tidak meminta mukjizat. Mereka hanya menuntut penegakan hukum yang lurus dan tidak pandang bulu. Seret M alias O ke meja pemeriksaan sebagai tersangka. Biarkan pengadilan yang membuktikan apakah ia bersalah atau tidak. Tugas Kejaksaan adalah membawanya ke sana, bukan melindunginya di balik tabir teka-teki hukum.

Jika Kejari Raba Bima tidak segera bertindak, maka publik berhak menyimpulkan bahwa institusi ini telah memilih untuk bersekongkol dengan penjahat, dan dengan demikian, telah menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Ini adalah noda hitam yang tidak akan bisa dihapus oleh seribu siaran pers tentang keberhasilan menangkap para pelaku lapangan. Sebab pada akhirnya, sejarah akan mencatat siapa yang menangkap ikan teri, dan siapa yang membiarkan ikan paus bebas menari di lautan hukum yang keruh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *